Oleh: Fadjar Adji Nuryanto
SPIRITUALITAS semakin mendapat tempat tersendiri dalam masyarakat modern. Fenomena keagamaan ini semakin menarik untuk dicermati, karena akhir-akhir ini terdapat pula kecenderungan rekonsiliasi antara nilai sufistik dan dunia modern.
Ada kecenderungan baru dimensi spiritualitas yang bersumber dari agama mulai dilirik kembali oleh masyarakat. Kemajuan yang telah mereka raih dalam bidang iptek membuktikan problema yang muncul akibat kemajuan dunia global belum terpecahkan.
Pengamat dan khususnya futurolog menganggap krisis besar yang melanda umat manusia tidak akan dapat diatasi dengan keunggulan iptek dan kebesaran ideologi yang dianut oleh negara terkemuka. Ideologi sosialisme-komunisme misalnya yang telah gagal total. Ideologi lainnya seperti kapitalisme liberalisme juga dianggap goyah dan rapuh, tinggal menunggu lonceng kematian.
Agama mulai dilirik sebagai harapan dan benteng terakhir untuk menyelamatkan manusia dari kehancuran yang mengerikan. Mungkin ini pula yang mendasari futurolog, seperti Alvin Toffler dengan bukunya The Third Wave dan John Naisbit dan istrinya Patricia Aburdene mengatakan, pada abad ke-21 akan terjadi kebangkitan agama yang disebut dengan istilah The Age of Religion.
Tren kembali kepada agama ternyata juga telah berorientasi kepada spiritualisme, bukan religius formal yang konvensional. Annemarie Schimmel dalam bukunya Mystical Dimensions of Islam mengakui masyarakat modern tampaknya enggan terkait dengan agama formal. Mereka lebih tertarik dengan meditasi, zikir, dan olah rohani yang lainnya dibanding dimensi ritual, moral, dan sosial pada agama tertentu.
Berpedoman Syara'
Tasawuf dan masyarakat modern adalah dua sifat yang berbeda atau bahkan berseberangan dengan nilai-nilai hidup masyarakat modern. Penilaian seperti ini setidaknya perlu dikaji kembali, sebagai upaya untuk menjelaskan tasawuf atau sufisme yang sebenarnya.
Ibnu Arabi menjelaskan tasawuf mengikatkan diri kepada kelakuan baik menurut syara' secara lahir dan batin, dan itu adalah akhlak mulia. Ungkapan kelakuan baik menurut syara' menunjukkan, tasawuf harus berpedoman kepada syara' atau syariat, sehingga syariat adalah pemimpin yang harus diikuti oleh siapa saja yang menginginkan keberhasilan tasawuf.
Islam adalah agama yang sangat menekankan keseimbangan antara syariat sebagai hukum Tuhan dan tarekat sebagai jalan spiritual yang sering disebut sufisme atau tasawuf. Bila syariat disebut sebagai dimensi eksoterik Islam yang lebih berurusan dengan aspek lahiriah, maka tarekat adalah dimensi esoterik Islam lebih banyak berurusan dengan aspek batiniah.
Hambatan yang bersifat eksternal berupa arus modernisasi dan kemajuan iptek sekarang ini telah berhasil merobek batas negara, menembus dinding budaya serta membentangkan jaringan hubungan antarbangsa menjadi lebih dekat.
Kemajuan iptek menanamkan pengaruhnya begitu luas dalam sistem berpikir yang berkaitan dengan masalah keagamaan, dan kita dituntut untuk dapat berpikir secara sistematis dan rasio nal. Hampir tidak ada satu budaya saat ini yang murni tanpa dipengaruhi oleh modernisasi dan kemajuan iptek.
Hambatan yang bersifat internal antara lain sikap umat Islam yang menganggap tasawuf sebagai penyebab kemunduran, tasawuf hanya layak untuk kaum tua dan yang sudah mendekati ajal. Sebagian ada yang tertarik pada tasawuf tetapi hanya pada aspek pemikirannya (tasawuf falsafi), sehingga tasawuf hanya menjadi bahan perbincangan di seminar tetapi tidak tercermin dalam kehidupan pribadi, keluarga atau masyarakat.
Sebaliknya, di kalangan tasawuf ada yang hanya mementingkan aspek amaliahnya saja (tasawuf 'amali) dan sudah tidak lagi memperhatikan aspek pemikirannya. Ada kecenderungan untuk memisahkan antara tasawuf dan fiqih. Karena itu antara kalangan tasawuf dan fiqih dapat terjadi konflik.
Tradisi tasawuf yang seharusnya bersikap antisipatif, dinamis dan kreatif lebih kehilangan sifat aslinya dan dalam menghadapi setiap persoalan lebih bersikap reaktif, bahkan ada kecenderungan memencilkan diri (isolatif).
Sikap isolatif tersebut diperparah dengan menjauhi duniawi sebagai akibat dari kekeliruan dalam memahami ajaran tasawuf, seruan agar hubuddun-ya telah disalahartikan dengan sikap menjauhi dunia.
Penyimpangan
Nilai dalam sufisme sangat beragam, mereka menyebutnya dengan istilah maqamal atau stasiun yang harus ditempuh seseorang untuk sampai kepada Tuhan. Beberapa di antaranya adalah tobat, pencarian jalan kebenaran (biasanya diikuti berbagai rintangan), rida, wara' (menghindarkan dari yang makruh apalagi haram), ikhlas dalam beribadah, kerinduan/cinta kepada Tuhan, mengenyampingkan dunia (tetapi bukan berarti tanpa harta dunia, karena agama membolehkan umat untuk memiliki harta dunia), qana'ah/kepuasan hati, mengingat Allah, kesatuan mistik/ittihad, makrifat, keesaan, ketakjuban, dan kefakiran-hapus/fana' (tidak memiliki sesuatu pun kecuali ciintanya pada Yang Satu).
Realitas dalam kehidupan masyarakat terdapat praktik penyimpangan dalam bertasawuf. Praktik-praktik tasawuf dapat diartikan menyimpang jika:1) tidak didasari oleh Alquran dan As-sunnah. 2) Amaliah tarekat tasawufnya tidak dalam bimbingan mursyid atau yang ditunjuk oleh mursyid. Kemursyidan adalah hal yang fundamental dalam praktik tasawuf mengingat banyak ulama yang gagal mengamalkan tasawuf tanpa bimbingan mursyid apalagi kalangan awam.
3) Munculnya praktik perdukunan, pengobatan, healing/terapi ala sufi, ilmu hikmah dan kanuragan lainnya yang sangat jauh dari tuntunan syariat. Walaupun ilmu tersebut merupakan produk khasanah sufi, lahir melalui tangan suci sufi tetapi generasi selanjutnya tidak mengamalkan tasawufnya namun hanya mengamalkan ilmu hikmahnya. Inilah yang disebut kacang meninggalkan kulitnya.
4). Aliran-aliran sinkretisme (gerakan kebatinan yang cenderung negatif) dari berbagai agama yang diramu sebagai sintetisme spiritual yang kemudian digemakan sebagai aliran tasawuf.
5) Praktik tasawuf yang membabi buta mempopulerkan dirinya sebagai gerakan yang paling hebat, dengan dasar guru tarekat atau mursyidnya adalah mursyid yang paling puncak dari seluruh mursyid di dunia, sehingga para murid mulai mengkultuskan mursyid setara dengan Tuhan.
6) Muncul secara individual, seorang merasa mendapat wahyu dari Allah melalui malaikat Jibril, lalu mengidentifikasikan dirinya sebagai gerakan spiritual.
Dari beberapa elemen yang menyimpang inilah yang sesungguhnya merupakan tantangan bagi gerakan tasawuf khususnya di Indonesia. Para ulama sufi, para mursyid tarekat dan para peminat dunia sufi perlu memperhatikan secara jeli agar tidak terjebak oleh ghurur (tipu daya) di balik gerakan spiritual tersebut.
Sufisme juga mementingkan keseimbangan jasmani dan rohani, lahiriah dan batiniah, material dan spiritual, duniawi dan ukhrowi. Bahkan Islam mengajak ke pemenuhan kebutuhan hidup baik material dan spiritual. Kemajuan dimensi spiritual hanya bisa dicapai melalui hidup yang saleh di tengah hiruk pikuk kehidupan sehari-hari, bukan dengan mengingkari kehidupan duniawi. Bahkan dalam Alquran terdapat sebuah doa: "Wahai Tuhan kami! Berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat nanti". (QS 2:201).
Secara historis menunjukkan pada umumnya para sufi tidak menjauhi kehidupan duniawi, mereka memberikan sumbangan yang besar bagi kehidupan sosial kemasyarakatan. Munculnya tasawuf adalah sebagai alternatif yang terpilih untuk merespon kemiskinan spiritual masyarakat modern khususnya di barat dan sesungguhnya sangat beralasan karena sufisme mengajar hal-hal yang cukup rasional.
Pemahaman ajaran agama secara rasional ditambah dengan pelaksanaannya secara formal tidak cukup menjamin kesetiaan orang pada agama yang dianutnya. Pemahaman dan formalitas agama tidak membawa orang merasakan nikmatnya beragama, bahkan mungkin hanya akan membuat seseorang merasa terbebani dengan berbagai ketentuan normatif dari ukurannya sendiri. Oleh sebab itu tasawuf menjadi pilihan, karena bentuk kebajikan spiritual dan tasawuf telah dikemas dengan filsafat, pemikiran, ilmu pengetahuan dan disiplin kerohanian tertentu berdasarkan ajaran Islam.
Bukan Tujuan
Tasawuf bukan merupakan tujuan, ia merupakan jalan untuk mendekatkan diri menuju Tuhan. Ia merupakan jalan yang penuh berliku yang sarat dengan tipu daya dan menyesatkan.
Ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu mengenai kehidupan bertasawuf dan tasawuf sebagai gerakan/pelembagaan. Kalau dari segi kehidupan dapat kita kembalikan pada kehidupan Nabi, dalam Alquran banyak sekali ayat yang mengisyaratkan akan kehidupan bertasawuf.
Ajaran sufi adalah ajaran moral dan aspek moral inilah yang paling ditekankan dan pendekatannya adalah dengan ibadah-ibadah. Moralitas yang tinggi bagi Nabi dimulai dari kesempurnaan pengamalan syariat yang beliau bawa.
Pada praktik di masyarakat kadang orang mengalihkan dari persoalan moral kepada hal yang aneh-aneh, orang merasa sudah dekat dengan Allah sehingga melahirkan ini dan itu yang aneh.
Tujuan tasawuf bukan kepada hal yang aneh-aneh. Ciri seorang sufi dapat dilihat dari kehidupan sehari-hari dalam kehidupan moral bermasyarakat, sebab seseorang yang semakin dekat dengan Allah maka akan semakin baik pula pada masyarakat.
Para sufi tidak pernah mengklaim dirinya adalah seorang sufi. Bahkan mereka akan menyembunyikan atribut kesufiannya. Kadang salat sunahnya jarang dilakukan di depan orang, saat menjadi imam menggunakan ayat yang pendek-pendek sehingga mereka tidak bersedia untuk show kesucian di depan orang. Pamer merupakan penyakit hati yang harus dijauhi.
Sufi yang benar adalah menjadi muslim yang benar dan muslim yang benar adalah bagaimana menjalankan syariat Islam secara benar, sehingga secara umum tanpa syariat yang benar/amburadul, tidak mungkin akan melangkah ke tiga tahapan selanjutnya (tarekat, hakikat dan marifat).
Masing-masing empat tahapan tersebut membutuhkan waktu yang tidak dapat ditentukan dan tidak dapat diprogramkan secara matematis periodik apalagi hanya dengan perasaan/naluri bahwa kita sekarang adalah sedang berada pada tahap yang ini atau yang itu.(18)
- Fadjar Adji Nuryanto SP, alumnus Fakultas Pertanian Unsoed Purwokerto, pemerhati Masalah Politik dan Kajian Islam.
catatan kau ni mang,,,, ckckck,,,, ga da perubahan,,,, I'm the first gan,,,,
BalasHapus