filsuf cinta

Jumat, 14 Januari 2011

cinta untuk mu

Mungkin aku memang lemah
Mungkin aku tak pernah punyai lelah
Saat ku terdiam menangisi pergimu
Terus ku terpaku oleh harapan semu

Sepertinya… t’lah cukup banyak kutulis
T’lah cukup dalam hati ini kuiris
Agar bisa kucoba lagi cinta dari mula
Dengan ia yang mampu merasakannya

Namun cinta untukmu terus bertahan
Di sekeping sisa hati ini pun cinta untukmu kurasakan
Kerinduan hadirmu tak pernah bisa hilang
Oh Tuhan… bagaimana semua ini harus kuartikan ?

Minggu, 09 Januari 2011

Filsafat Rasionalisme

Filsafat Rasionalisme
Filsafat Rasionalisme satu aliran filsafat modern, yaitu empirisme. Kali ini saya akan menggali lebih dalam tentang aliran kontra empirisme, taitu Rasionalisme. Rasionalisme sangat bertentangan dengan empirisme. Rasionalisme mengatakan bahwa pengenalan yang sangat sejati berasal dari rasio, sehingga pengenalan inderawi merupakan suatu bentuk pengenalan yang kabur. Lebih detail, Rasionalisme adalah merupakan faham atau aliran yang berdasarkan rasio, ide-ide yang masuk akal. Selain itu tidak ada sumber kebenaran yang hakiki.

Zaman Rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad ke XVII sampai akhir abad ke XVIII. Pada zaman ini hal yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan yang eksklusif daya akal budi (ratio) untuk menemukan kebenaran. Ternyata, penggunaan akal budi yang demikian tidak sia-sia, melihat tambahan ilmu pengetahuan yang besar sekali akibat perkembangan yang pesat dari ilmu-ilmu alam. Maka tidak mengherankan bahwa pada abad-abad berikut orang-orang yang terpelajar Makin percaya pada akal budi mereka sebagai sumber kebenaran tentang hidup dan dunia. Hal ini menjadi menampak lagi pada bagian kedua abad ke XVII dan lebih lagi selama abad XVIII antara lain karena pandangan baru terhadap dunia yang diberikan oleh Isaac Newton (1643 -1727). Berkat sarjana geniaal Fisika Inggris ini yaitu menurutnya Fisika itu terdiri dari bagian-bagian kevil (atom) yang berhubungan satu sama lain menurut hukum sebab akibat. Semua gejala alam harus diterangkan menurut jalan mekanis ini. Harus diakui bahwa Newton sendiri memiliki suatu keinsyafan yang mendalam tentang batas akal budi dalam mengejar kebenaran melalui ilmu pengetahuan. Berdasarkan kepercayaan yang makin kuat akan kekuasaan akal budi lama kelamaan orang-orang abad itu berpandangan dalam kegelapan. Baru dalam abad mereka menaikkan obor terang yang menciptakan manusia dan masyarakat modern yang telah dirindukan, karena kepercayaan itu pada abad XVIII disebut juga zaman Aufklarung (pencerahan).

Tokoh-tokohnya
1. Rene Descartes (1596 -1650)
2. Nicholas Malerbranche (1638 -1775)
3. B. De Spinoza (1632 -1677 M)
4. G.W.Leibniz (1946-1716)
5. Christian Wolff (1679 -1754)
6. Blaise Pascal (1623 -1662 M)

MENGKAJI FENOMENA KESEHARIAN
Dari sedut pandang pemikiran filsafat Rasinalisme tersebut, sekiranya saya dapat mengambil contoh tentang logika di dalam agama. Dari salam satu tulisan yang saya temukan di internet,
“Ada sebuah ungkapan, terkenal dari tokoh besar di dunia Islam, Ibn Taimiyyah, yang arti harfiahnya “Barang siapa menggunakan logika maka ia telah kafir”.” demikian ungkapan tersebut. Apakah sikap seperti ini dapat dibenarkan? Ataukah memang mutlak salah?
Apa implikasi jika sikap seperti ini dibenarkan?
Dan apa pula konsekuensinya jika ia mutlak salah?
Ataukah sikap seperti ini relatif, bisa benar sekaligus bisa salah secara bersamaan?
Dan apa-kah konsekuensinya jika kebenaran sikap seperti ini relatif?

Seperti kita ketahui bahwa Logika adalah kaidah-kaidah berfikir. Subyeknya akal-akal rasional. Obyeknya adalah proposisi bahasa. Proposisi bahasa yang mencerminkan realitas, apakah itu realitas di alam nyata ataupun realitas di alam fikiran. Kaidah-kaidah berfikir dalam logika bersifat niscaya atau mesti. Penolakan terhadap kaidah berfikir ini adalah mustahil (tidak mungkin). Bahkan mustahil pula dalam semua khayalan atau “angan-angan” yang mungkin (all possible intelligebles).
Contohnya, sesuatu apapun pasti sama dengan dirinya sendiri, dan tidak sama dengan yang bukan dirinya. Prinsip berfikir ini telah tertanam secara niscaya sejak manusia lahir. Tertanam secara kodrati dan spontan. Dan selalu hadir kapan saja fikiran digunakan. Dan ini harus selalu diterima kapan saja realitas apapun dipahami. Bahkan, lebih jauh, prinsip ini sesungguhnya adalah satu dari watak niscaya seluruh yang maujud (the very property of being). Tidak mengakui prinsip ini, yang biasa disebut dengan prinsip non-kontradiksi, akan menghancurkan seluruh kebenaran dalam alam bahasa maupun dalam semua alam lain. Tidak menerimanya berarti meruntuhkan seluruh arsitektur bangunan agama, filsafat, sains dan teknologi, dan seluruh pengetahuan manusia.

Maka sebagai contoh ungkapan dari ‘Ibn Taimiyyah’ di atas, jika misal pernyataan itu benar, maka menggunakan kaidah logika adalah salah. Karena menggunakan kaidah logika salah, maka prinsip non-kontradiksi salah. Kalau prinsip non-kontradiksi salah. Artinya seluruh kebenaran tiada bermakna, tidak bisa dibenarkan ataupun disalahkan, atau bisa dibenarkan dan disalahkan sekaligus.
Kalau seluruh keberadaan tidak bermakna, maka pernyataan itu sendiri “Barang siapa menggunakan logika maka ia telah kafir” juga naif. Tak bermakna. Tak juga perlu dipikirkan. Menerima kebenaran pernyataan beliau tersebut sama saja dengan mengkafirkan beliau. Karena jika pernyataan tersebut benar, maka untuk membenarkannya telah digunakan kaidah logika. Dan karena beliau telah menggunakan kaidah logika, menurut pernyataan-nya sendiri beliau kafir.

Jadi sebaiknya pernyataan pengkafiran orang yang menggunakan logika ini benar-benar ditolak. Pernyataan ini salah. Dan sangat Salah. Dan mustahil benar. Karena kalau benar, semua orang yang berfikir benar kafir. Dan ini mustahil.
Dilihat dari segi pandangan umum, Islam jelas menentang adanya relativisme Kebenaran. Dalam Islam yang benar pasti benar dan tidak mungkin salah. Sedang yang salah pasti salah dan tak mungkin benar.

Penerapan kaidah-kaidah berfikir yang benar telah menghantarkan para filosof (pecinta kebijaksanaan) besar pada keyakinan yang pasti akan keberadaan Tuhan.

Jelas-jelas penerapan logika bagi mereka tidak menentang agama. Malah sebaliknya, me-real-kan agama sampai ke seluruh pori-pori rohaninya yang mungkin. Atau dengan kata lain, mencapai hakikat.

Dalam dialog terakhir Socrates, digambarkan betapa figur filsuf ini mati tersenyum setelah menyebut nama Tuhan sebelum akhir hayatnya Alih-alih logika menentang agama, malah logika adalah kendaraan “super-executive” untuk mencapai hakikat kebenaran spiritual. Dan sekali lagi alih-alih logika menentang agama, tanpa logika agama tak-kan dapat terpahami.

Jadi apakah Logika dalam Agama = kebenaran spiritual

Sistem Pendidikan Nasional

Sistem Pendidikan Nasional
Pelaksanaan pendidikan nasional berlandaskan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

.: Jalur Pendidikan
Jalur pendidikan terdiri atas:
1. pendidikan formal,
2. nonformal, dan
3. informal.

Jalur Pendidikan Formal
Jenjang pendidikan formal terdiri atas:
1. pendidikan dasar,
2. pendidikan menengah,
3. dan pendidikan tinggi.

Jenis pendidikan mencakup:
1. pendidikan umum,
2. kejuruan,
3. akademik,
4. profesi,
5. vokasi,
6. keagamaan, dan
7. khusus.

Pendidikan Dasar
Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.
Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar bagi setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
Pendidikan dasar berbentuk:
1. Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat; serta
2. Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.

Pendidikan Menengah
Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar.
Pendidikan menengah terdiri atas:
1. pendidikan menengah umum, dan
2. pendidikan menengah kejuruan.
Pendidikan menengah berbentuk:
1. Sekolah Menengah Atas (SMA),
2. Madrasah Aliyah (MA),
3. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan
4. Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.

Pendidikan Tinggi
Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.
Perguruan tinggi dapat berbentuk:
1. akademi,
2. politeknik,
3. sekolah tinggi,
4. institut, atau
5. universitas.

Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi.

Pendidikan Nonformal
Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.
Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.
Pendidikan nonformal meliputi:
1. pendidikan kecakapan hidup,
2. pendidikan anak usia dini,
3. pendidikan kepemudaan,
4. pendidikan pemberdayaan perempuan,
5. pendidikan keaksaraan,
6. pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja,
7. pendidikan kesetaraan, serta
8. pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
Satuan pendidikan nonformal terdiri atas:
1. lembaga kursus,
2. lembaga pelatihan,
3. kelompok belajar,
4. pusat kegiatan belajar masyarakat, dan
5. majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.
Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.

Pendidikan Informal
Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.
Hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.

.: Pendidikan Anak Usia Dini
Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.
Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal.

Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk:
1. Taman Kanak-kanak (TK),
2. Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.

Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk:
1. Kelompok Bermain (KB),
2. Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.

Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.

.: Pendidikan Kedinasan
Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen.
Pendidikan kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai negeri suatu departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen.
Pendidikan kedinasan diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal dan nonformal.

.: Pendidikan Keagamaan
Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
Pendidikan keagamaan berbentuk:
1. pendidikan diniyah,
2. pesantren,
3. pasraman,
4. pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.


.: Pendidikan Jarak Jauh
Pendidikan jarak jauh dapat diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler.
Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan.

.: Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus
Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
**Warga negara asing dapat menjadi peserta didik pada satuan pendidikan yang diselenggarakan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

DAFTAR ISTILAH

Pendidikan adalah Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Pendidikan nasional adalah Pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.

Sistem pendidikan nasional adalah Keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

Peserta didik adalah Anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.

Jalur pendidikan adalah Wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.

Jenjang pendidikan adalah Tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan.

Jenis pendidikan adalah Kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan.

Satuan pendidikan adalah Kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.

Pendidikan formal adalah Jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

Pendidikan nonformal adalah Jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.

Pendidikan informal adalah Jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.

Pendidikan anak usia dini adalah Suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Pendidikan jarak jauh adalah Pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi, dan media lain.

Standar nasional pendidikan adalah Kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Wajib belajar adalah Program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh Warga Negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Warga Negara adalah Warga Negara Indonesia baik yang tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia maupun di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Masyarakat adalah Kelompok Warga Negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.

Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.

Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten, atau Pemerintah Kota.

Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan nasional.

Filsafat Pendidikan

Filsafat Pendidikan
Merupakan terapan dari filsafat umum, maka selama membahas filsafat pendidikan akan berangkat dari filsafat.
Filsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan, dan nilai.
Dalam filsafat terdapat berbagai mazhab/aliran-aliran, seperti materialisme, idealisme, realisme, pragmatisme, dan lain-lain. Karena filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat, sedangkan filsafat beraneka ragam alirannya, maka dalam filsafat pendidikan pun kita akan temukan berbagai aliran, sekurang-kurnagnya sebanyak aliran filsafat itu sendiri.
Brubacher (1950) mengelompokkan filsafat pendidikan pada dua kelompok besar, yaitu
a. Filsafat pendidikan “progresif”
Didukung oleh filsafat pragmatisme dari John Dewey, dan romantik naturalisme dari Roousseau
b. Filsafat pendidikan “ Konservatif”.
Didasari oleh filsafat idealisme, realisme humanisme (humanisme rasional), dan supernaturalisme atau realisme religius.

Filsafat-filsafat tersebut melahirkan filsafat pendidikan esensialisme, perenialisme,dan sebagainya.

Berikut aliran-aliran dalam filsafat pendidikan:
1. Filsafat Pendidikan Idealisme memandang bahwa realitas akhir adalah roh, bukan materi, bukan fisik. Pengetahuan yang diperoleh melaui panca indera adalah tidak pasti dan tidak lengkap. Aliran ini memandang nilai adalah tetap dan tidak berubah, seperti apa yang dikatakan baik, benar, cantik, buruk secara fundamental tidak berubah dari generasi ke generasi. Tokoh-tokoh dalam aliran ini adalah: Plato, Elea dan Hegel, Emanuael Kant, David Hume, Al Ghazali

2. Filsafat Pendidikan Realisme merupakan filsafat yang memandang realitas secara dualitis. Realisme berpendapat bahwa hakekat realitas ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia ruhani. Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak dan di pihak lainnya adalah adanya realita di luar manusia, yang dapat dijadikan objek pengetahuan manusia. Beberapa tokoh yang beraliran realisme: Aristoteles, Johan Amos Comenius, Wiliam Mc Gucken, Francis Bacon, John Locke, Galileo, David Hume, John Stuart Mill.

3. Filsafat Pendidikan Materialisme berpandangan bahwa hakikat realisme adalah materi, bukan rohani, spiritual atau supernatural. Beberapa tokoh yang beraliran materialisme: Demokritos, Ludwig Feurbach

4. Filsafat Pendidikan Pragmatisme dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun sebenarnya berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami. Beberapa tokoh yang menganut filsafat ini adalah: Charles sandre Peirce, wiliam James, John Dewey, Heracleitos.

5. Filsafat Pendidikan Eksistensialisme memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu. Secara umum, eksistensialisme menekankn pilihan kreatif, subjektifitas pengalaman manusia dan tindakan kongkrit dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat manusia atau realitas. Beberapa tokoh dalam aliran ini: Jean Paul Satre, Soren Kierkegaard, Martin Buber, Martin Heidegger, Karl Jasper, Gabril Marcel, Paul Tillich

6. Filsafat Pendidikan Progresivisme bukan merupakan bangunan filsafat atau aliran filsafat yang berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan. Beberapa tokoh dalam aliran ini : George Axtelle, william O. Stanley, Ernest Bayley, Lawrence B.Thomas, Frederick C. Neff

7. Filsafat Pendidikan esensialisme Esensialisme adalah suatu filsafat pendidikan konservatif yang pada mulanya dirumuskan sebagai suatu kritik pada trend-trend progresif di sekolah-sekolah. Mereka berpendapat bahwa pergerakan progresif telah merusak standar-standar intelektual dan moral di antara kaum muda. Beberapa tokoh dalam aliran ini: william C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick Breed dan Isac L. Kandell.

8. Filsafat Pendidikan Perenialisme Merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan teruji. Beberapa tokoh pendukung gagasan ini adalah: Robert Maynard Hutchins dan ortimer Adler.

9. Filsafat Pendidikan rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang. Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil. Beberapa tokoh dalam aliran ini:Caroline Pratt, George Count, Harold Rugg.

Fenomena ”Hidup Lebih Maju”
Setiap orang, pasti menginginkan hidup bahagia. Salah satu diantaranya yakni hidup lebih baik dari sebelumnya atau bisa disebut hidup lebih maju. Hidup maju tersebut didukung atau dapat diwujudkan melalui pendidikan. Dikaitkan dengan penjelasaan diatas, menurut pendapat saya filsafat pendidikan yang sesuai atau mengarah pada terwujudnya kehidupan yang maju yakni filsafat yang konservatif yang didukung oleh sebuah idealisme, rasionalisme(kenyataan). Itu dikarenakan filsafat pendidikan mengarah pada hasil pemikiran manusia mengenai realitas, pengetahuan, dan nilai seperti yang telah disebutkan diatas.
Jadi, aliran filsafat yang pas dan sesuai dengan pendidikan yang mengarah pada kehidupan yang maju menurut pikiran saya yakni filsafat pendidikan progresivisme (berfokus pada siswanya). Tapi akan lebih baik lagi bila semua filsafat diatas bisa saling melengkapi.

Jumat, 07 Januari 2011

Kosmologi Filsafat (Makalah)

B. Ruang Lingkup Kosmologi Filsafat

Kosmologi berasal dari kata Yunani “kosmos” dan “logos”. “Kosmos” berarti susunan, atau ketersusunan yang baik. Lawannya ialah “khaos”, yang berarti “kacau balau” (Bakker, 1995: 39). Sedangkan “logos” juga berarti “keteraturan”, sekalipun dalam “kosmologi” lebih tepat diartikan sebagai “azas-azas rasional” (Kattsoff, 1986: 75). Dalam sejarah filsafat Barat, tercatat Phytagoras (580 – 500 SM) merupakan orang yang pertama kali memakai istilah “kosmos” sebagai terminologi filsafat. Bahkan dalam tradisi Aristotelian, penyelidikan tentang keteraturan alam disebut sebagai “fisika” (bukan dalam pengertian modern), dan filsafat Skolastik memakai nama “filsafat alami” (philosophia naturalis) untuk menyebut hal yang sama (Bakker, 1995: 40). Istilah “kosmologi” (cosmology) dipakai pertama kali oleh Christian von Wolff dalam bukunya “Discursus Praeliminaris de Philosophia in Genere” tahun 1728, dengan menempatkannya dalam skema pengetahuan filsafat sebagai cabang dari “metafisika” dan dibedakan dengan cabang-cabang metafisika yang lain seperti “ontologi”, “teologi metafisik”, maupun “psikologi metafisik” (Munitz, dalam Edward, ed., 1976: 237). Dengan demikian, sejak “klasifikasi Christian”, “kosmologi” dimengerti sebagai sebuah cabang filsafat yang membicarakan asal mula dan susunan alam semesta; dan dibedakan dengan “ontologi” atau “metafisika umum” yang merupakan suatu telaah tentang watak-watak umum dari realitas natural dan supernatural; juga dibedakan dengan “filsafat alam” (The philosophy of nature) yang menyelidiki hukum-hukum dasar, proses dan klasifikasi objek-objek dalam alam (Runes, 1975: 68-69). Namun demikian, walau secara definitif “kosmologi” dibedakan dengan “ontologi” maupun “filsafat alam”, pemilahan yang tegas dalam analisis konseptual antara ketiga bidang tersebut merupakan suatu usaha yang sulit dikerjakan, mengingat objek material dan objek formal yang hampir sama.
Selain dipakai dalam khasanah pemikiran filsafat, istilah “kosmologi” juga dipakai dalam lingkup ilmu empiris, yakni dikenali sebagai ilmu yang menggabungkan hasil-hasil pengamatan astronomis dengan teori-teori fisika dalam rangka menyusun hal-hal astronomis atau fisis dari alam semesta dalam suatu kesatuan dengan skala yang besar (Munitz, dalam: Edward, ed, 1976: 238). Kosmologi ilmiah (scientific cosmology) lebih berpijak pada suatu studi empiris tentang gejala-gejala astronomis. Upaya-upaya yang selalu dilakukan adalah membuat model-model “alam semesta” atas dasar penemuan-penemuan observatorial oleh para astronom. Dengan demikian sangat berbeda dengan “kosmologi filsafat” yang murni konsepsional dan merupakan analisis kategorial yang dilakukan secara “spekulatif” oleh para filsuf. Adapun kajian filosofis terhadap “kosmologi ilmiah” merupakan sub-bagian dari kajian “filsafat ilmu”, dengan fokus telaah pada aspek-aspek metodologis dan epistemologis bangunan “kosmologi ilmiah” sebagai “ilmu”. Kajian yang dilakukan dalam makalah ini adalah kajian kosmologi filsafat, sekalipun unsur-unsur pemikiran yang ditelaah terkait dengan kosmologi ilmiah tentang ruang-waktu, yang bagimana pun terkait pula dengan gejala-gejala fisis dan astronomis.
Dalam tradisi pemikiran Barat (Yunani, Eropa), perkembangan pemikiran kosmologi filsafat berkembang sejalan dengan perkembangan pemikiran filsafat Barat. Tonggak perubahan dari perenungan tentang “kosmos” berpindah pada perenungan tentang “manusia”, dimulai oleh kaum Sofis pada Abad ke 5 Sebelum Masehi (Hatta, 1964: 2). Dengan demikian, telah terjadi kembali “pembongkaran dunia” yang fundamental setelah sebelumnya manusia meninggalkan “dunia mitos” masuk ke dalam “dunia kosmos”. Atas dasar interpretasi baru tentang “dunia” tersebut, para “dewa-dewi” yang masih mempunyai peranan dalam “dunia kosmos”, secara fungsional perannya digantikan oleh anasir-anasir dan hukum-hukum kodrat “yang tidak berpribadi” (impersonal). “Dunia” kemudian diyakini sebagai suatu kesatuan unsur-unsur dasar yang memiliki kodrat dan hukum-hukumnya sendiri. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa pada awal perkembangannya kosmologi para filsuf alam tidak sepenuhnya dapat melepaskan diri dari pengaruh kosmogoni dan spekulasi eskatologis yang terdapat dalam mitologi Yunani (Burnet, 1953: 1-4), dan kosmologi filsafat jelas bukan suatu mitologi, sekalipun kedua-duanya merupakan “usaha rasional” dari manusia untuk mencari penjelasan tentang berbagai hal mengenai “dunia”. Dalam tradisi filsafat Barat, mitologi lebih bersifat spekulatif-deduktif, sedangkan kosmologi filsafati cenderung lebih kritis-induktif dalam arti tidak mungkin lagi menutup mata terhadap kosmologi ilmiah maupun temuan-temuan ilmiah yang lain.
1. Topik utama kosmologi filsafat menurut Hegel adalah tentang “kontingensi” (kemestian yang merujuk pada “hukum”), “kepastian”, “keabadian”, batas-batas dan hukum formal dunia, kebebasan manusia, dan asal mula kejahatan. Namun rata-rata filsuf hanya mempersoalkan hakikat dan hubungan antara ruang dan waktu, dan persoalan tentang hakikat kebebasan dan asal mula kejahatan sebagai materi telaah di luar bidang kosmologi (Runes, ed, 1975: 69). Secara umum bangunan pemikiran kosmo-logi filsafat berpijak pada prinsip-prinsip ilmu ataupun dalil-dalil metafisis, sehingga pada satu sisi berkaitan dengan fakta-fakta empiris, pada sisi lain berhubungan dengan kebenaran metafisis tertentu. Dengan demikian dari pijakan ini mudah dilihat bahwa kosmologi filsafat memiliki nilai bila dia mampu memberi kerangka pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa alami/kodrati, batas-batas dan “hukum” ruang-waktu “dunia”, dan bagaimana “keterbatasan manusiawi” tersebut mampu “diatasi”.
2. Secara historis perkembangan kosmologi filsafat (barat) dimulai dari filsuf-filsuf alam pra Sokratik, yang kemudian persoalan-persoalannya oleh Plato dalam “Timaeus” dan oleh Aristoteles dalam “Physics” disistematisir dan diperluas. Secara umum kosmologi filsafati di Yunani , dengan berbagai varian pemikiran, sepakat bahwa ruang jagad raya ini terbatas dan di bawah pengaruh hukum-hukum yang tidak dapat dirubah, yang memiliki ketentuan dan irama tertentu. Perkembangan berikut, pada Abad Tengah, mulai diperkenalkan konsep-konsep “penciptaan” dan “kiamat”, “keajaiban” dan “pemeliharaan” oleh Tuhan dalam kosmologi. Seirama dengan perkembangan ilmu empiris, kosmologi filsafat jaman modern sebagaimana dikemukakan oleh Descartes, Leibniz, maupun Newton mengalihkan kecenderungan yang muncul pada Abad tengah kepada corak pemikiran yang lebih dekat dengan pemikiran Yunani. Bahkan sejak Immanuel Kant, telaah kosmologi filsafati selalu dalam kaitan dengan isue-isue metafisika. Varian lain yang berkembang dan perlu disebut adalah kosmologi modern yang lebih “positif” sebagaimana dikemukakan oleh Pierce, yang menyatakan bahwa pokok soal yang harus dijawab oleh kosmologi adalah tiga hal, yakni, prinsip-prinsip tentang perubahan, hukum, dan kontingensi kosmis (Runes, 1975: 69). Varian “pengimbang” yang lain untuk pemikiran kontemporer adalah Whitehead, dengan “mengembalikan” kosmologi pada lingkup “hukum kodrat” yang lebih luas terkait dengan kebudayaan dan ilmu (Whitehead, 1960: 143).
Secara sistematis, kosmologi filsafat dibedakan dalam empat kelompok varian besar dengan dasar pengelompokan: (1) Berpijak dari keyakinan ontis bahwa hakikat dunia itu “jamak” ataukah “tunggal” (monisme, pluralisme). (2) Kedudukan manusia dalam kosmis (subjektivistis, objektivistis). (3) Esensi dan substansi manusia dengan esensi dan substansi dunia yang lain (penonjolan “perbedaan” antara esensi dan substansi manusia dengan esensi dan substansi dunia yang lain pada: Husserl, Scheler, Hartman, dan Heidegger; pengutamaan pada “kesamaan” antara esensi dan substansi “pengkosmos-pengkosmos” pada: panpsikisme dan Whitehead). Dan (4) pendekatan sintesis (Bergson, Theilard de Chardin, dan kosmologi Pancasila) (Bakker, 1995: 42-52). Klasifikasi yang dilakukan Bakker yang masih searah dengan kecenderungan kosmologi post-Kantian, yakni mengaitkan telaah kosmologi dengan “metafisika”, membawa kajian kosmologi pada pendekatan integratif dengan bidang-bidang pokok filsafat yang lain, baik itu metafisika, epistemologi, aksiologi, maupun filsafat manusia. Terdapat dua konsekuensi yang meski diterima, bila pendekatan demikian yang dianut, yakni, pertama, kajian kosmologi filsafati menjadi kajian yang “arbriter”, dalam arti varian-varian pandangan metafisis dan pendekatan (orientasi epistemologis) meski dipertimbangkan dalam suatu telaah yang “komprehensif” dan “dialogis”, karena tanpa titik awal yang demikian yang terjadi adalah “penghakiman” atas suatu metafisika/ epistemologi oleh metafisika/epistemologi lain. Sebuah dimensi “meta-metodologi-filsafat” yang kurang disadari dalam telaah-telaah filsafat. Kedua, jangkar kajian pada “faktisitas-kedirian” dari “aku” (subjek eksistensial) sebagaimana mencul dalam pendekatan antropologi metafisis, membuka peluang untuk mengkaji kosmologi filsafat tidak hanya pada tingkat “tradisi besar para filsuf” namun juga berangkat dari “tradisi kecil” manusia “yang bukan filsuf” dengan kerangka pendekatan “sosio-empiris”. Dengan pendekatan “sosiologi (pengetahuan) filsafat”, secara empiris bisa dilacak “jangkar-jangkar sosial” dari sesuatu yang sudah dianggap sebagai “suatu pandangan dunia” dari masyarakat tertentu, baik itu berkaitan dengan “pandangan dunia secara holistik”, maupun aspek-aspek pemahaman tertentu dari “pandangan dunia” masyarakat tersebut. Dari “pandangan dunia” tersebut dapat dijabarkan pemahaman manusia tentang dunianya, yakni aspek kosmologi tentang waktu, terutama berkaitan dengan “keyakinan” (antropologis) orang tentang adanya pengaruh waktu (watak tahun, bulan, hari, dan jam) terhadap manusia.
Secara sistematis, perspektif-perspektif kosmologi metafisis tentang “waktu”, sebagaimana banyaknya varian pendekatan dalam kosmologi, secara garis besar dapat dipilah dalam empat kelompok, yakni: (1) Subjektivisme yang menyatakan bahwa waktu merupakan sesuatu yang tidak nyata, hanya bersifat subjektif-individual. Pemikiran yang demikian dianut oleh Parmenides, Zeno, Budhisme, Advaita Vedanta, Descartes, Leibniz, Locke, Hume, Berkeley, Fichte, Scheling, Hegel, Kant, Morris Schlick, Reichenbach, dan Carnap). (2) Realisme Ekstrem yang menyatakan bahwa waktu merupakan realitas absolut yang universal, tidak mempunyai kesatuan yang intrinksik dan hanya menunjukkan urutan-urutan murni. Kosmologi yang demikian dapat ditemukan pada kosmologi Indonesia/ Jawa, Jaina, Nyanya, Vaiseshika, Gassendi, Newton, Clarke, Whitehead, dan Alexander. (3) Realisme lunak, yang menyatakan bahwa waktu merupakan aspek perubahan yang nyata, sekalipun dihasilkan oleh subjek yang berabstraksi. Corak kosmologi yang demikian nampak pada pemikiran Aristoteles, Agustinus, Thomas Aquinas, Einstein, dan kosmologi Pancasila. Dan (4) Subjektivisme lunak yang menerima waktu sebagai suatu yang heterogen sebagaimana dikemukakan oleh Bergson, atau sebagai dimensi historis dari pribadi, sebagaimana diyakini oleh eksistensialisme (Bakker, 1995: 111-116). Dari “peta kosmologi” di atas, terlihat bahwa tradisi kosmologi timur paling dominan diwarnai oleh subjektivisme dan realisme ekstrem. Dari berbagai varian yang ada itu pula, kiranya dengan mudah dapat dilihat “konsekuensi-konsekuensi logis” dari suatu varian pemikiran kosmologis terhadap pandangan manusia tentang aspek-aspek lain dari kehidupannya.



C. Pokok-pokok Kosmologi Hawking

Sejauh batasan “kosmologi ilmiah” sebagai ilmu yang menggabungkan hasil-hasil pengamatan astronomis dengan teori-teori fisika dalam rangka menyusun hal-hal astronomis atau fisis alam semesta dalam suatu kesatuan dengan skala yang besar (Munitz, dalam: Edward,ed, 1976: 238) diterima, maka kosmologi Hawking kiranya termasuk “kosmologi ilmiah”. Ciri-ciri kosmologi yang demikian nampak nyata sekali dalam karyanya yang paling terkenal “A Brief History of Time” (Riwayat Sang Kala). Dalam “kata pengantar” buku tersebut, Carl Sagan menyebut Hawking sebagai penerus yang berharga dari Newton (penjelajah jagad paling besar) dan Dirac (penjelajah jagad paling kecil), di samping buku “A Brief History of Time” dinilai pula sebagai buku yang mampu mengungkap garis depan fisika, astronomi dan kosmologi (Hawking, 1995a: xvi). Pokok-pokok kosmologi Hawking yang diuraikan berikut ini terutama didasarkan pada buku tersebut, disamping kumpulan risalah ceramah dan wawancara Hawking yang terbit lebih kemudian, yakni “Black Holes and Baby Universe and Other Essays” (1993).
Medan jelajah Hawking adalah “fisika teoritis” (Hawking, 1995a: xii), yakni sebuah studi yang berupaya untuk mencari “self-consistency” yang rasional dan lebih menitik beratkan usaha pada pengembangan (teoritis) dari pada pembuktian melalui eksperimen (Hawking, 1995b: 41). Dalam wilayah jelajah yang demikianlah Hawking hendak menjawab beberapa pokok persoalan, misalnya: Seperti apakah awal jagad raya, bila awal dan akhir itu ada? Apakah pada kondisi awal dan akhir jagad raya tetap berlaku hukum-hukum fisika yang sama? Model yang bagaimanakah dari pemahaman kita tentang awal dan akhir jagad raya yang memungkinkan berlakunya hukum-hukum fisika (Teori umum relativitas dan Mekanika kuantum) tanpa mengingkari hasil-hasil pengamatan astronomis ? Bagaimana konsep ruang-waktu yang memadai bagi suatu model awal dan akhir jagad raya? Apakah segala peristiwa dalam Jagad raya memang tunduk pada hukum-hukum sains tertentu? Kalau ada hukum sains yang demikian, bagaimana dengan persoalan kebebasan dan tanggungjawab?
Kosmologi Hawking secara “sederhana” pada pokoknya hendak menjawab persoalan tentang struktur dan “arah” perkembangan realitas kosmis dengan “menggabungkan” dua pendekatan, yakni pendekatan makrokosmos teori gravitasi yang diwakili oleh Teori Relativitas Umum (TUR) dengan pendekatan mikrokosmos Teori Mekanika Kuantum (TMK) yang diwakili oleh asas ketidakpastian Heisenberg. TUR membawa telaah pada suatu hipotesa adanya awal jagad raya itu berupa dentuman besar (singularitas), sedangkan TMK (klasik) membawa pada hipotesa tentang “peluruhan jagad raya” (kerkahan besar) (Hawking, 1995a: 125). Kedua hipotesa tersebut sesuai dengan hasil pengamatan tentang “pemuaian jagad raya” dan “lubang hitam” (perapatan jagad raya). Persoalan yang meski dijawab adalah: Bagaimana dua teori yang “saling bertentang” tersebut diterima kedua-duanya, mengingat keduanya didukung oleh data-data observatoral?
Atas dasar teorema yang dikembangkan Penrose bahwa setiap beda langit yang runtuh karena gravitas pada akhirnya harus membentuk suatu singularitas; dan dipadu dengan model pemuaian jagad raya Friedmann, Hawking “menemukan” bahwa bila arah waktu dibalik maka teorema Penrose menghasilkan model pemuaian jagad raya yang dibalik, yakni menyusut. Baik pemuaian maupun penyusutan tersebut diawali dan diakhiri oleh suatu “singularitas” (Hawking, 1995a: 57-58). “Penemuan” ini memiliki kedudukan penting dalam konsep Hawking tentang ruang-waktu dan awal-akhir jagad raya.
Teori yang dikembangkan dalam rangka memberi penjelasan tentang “penggabungan” TUR dan TMK dinamainya Teori Grafitasi Kuantum (TGK), walau diakuinya bahwa teori yang lengkap belum terbangun (Hawking, 1995b: 91). TGK menjelaskan bahwa pada dua momen tersebut (dentuman besar dan lubang hitam) diasumsikan timbul medan gravitasi yang sangat besar oleh adanya rapatan tak terhingga. Dalam keadaan yang demikian berlaku hukum ketidakpastian Heisenberg, yakni pada “singularitas” demikian tingknt ketidakpastiannya semakin tinggi karena posisi maupun kecepatan sebuah partikel tidak bisa diukur dengan ketelitian yang sama tinggi (Hawking, 1995b: 128). Dari titik pijak ini, ruang-waktu tidak bisa lagi dipahami sebagai “sejarah tunggal” yang linear, melainkan “berbagai kemungkinan yang telah berkembang menjadi sejumlah sejarah yang berbeda-beda”. Semua itu tergabung dalam sebuah kelompok sejarah yang mungkin untuk jagad raya (Hawking, 1995b: 128).
Pada massa nol dan setara dengan pemuaian jagad raya terjadi penurunan suhu dan gravitas sampai pada titik kritis (konstan tertentu). Setelah melampaui ambang kritis, terjadi penyusutan jagad raya. Penyusutan ini dibarengi dengan meningkatnya tingkat rapatan yang tingkat kerapatannya berbanding lurus dengan peningkatan gravitasi menuju pada kerapatan tak terhingga (lubang hitam) ((Hawking, 1995a: 57). Evolusi alam dari partikel sederhana, dengan asas ketidakpastian yang secara alamiah menyeleksi proses-proses yang boleh berlanjut ,sampai menemukan bentuknya pada organisme yang bernama manusia memerlukan tiga milyar tahun (Hawking, 1995b: 130).
Pada tiga momen penting: dentuman besar, titik kritis, dan lubang hitam, berlakulah hukum fisis yang sama. Atas dasar ini dipostulasikan bahwa awal dan akhir bukan merupakan “singularitas” namun “kontinuitas” (Hawking, 1995a: 151). Penemuan mutakhir yang mendukung “gagasan” tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya beberapa “lubang hitam” purba merupakan sumber energi yang benar-benar panas membara putih yang memancarkan energi dengan laju sekitar sepuluh ribu megawatt, seberat gunung namun ukurannya seperjuta sentimeter (Hawking, 1995a: 119). Pada kondisi yang tanpa tapal batas inilah hukum-hukum sains secara murni menentukan kemungkinan-kemungkinan setiap sejarah yang mungkin (Hawking, 1995b: 93). Atas dasar ini pula Hawking menolak konsep penciptaan, atau pun teori antropoik, karena selain mengandung kontradiksi, juga mengandaikan hukum fisika lain yang belum diketahui oleh manusia (Hawking, 1995a: 154).
Dengan demikian mungkin diterima berkaitan dengan awal, proses, dan akhir jagad raya adalah model yang mampu menjelaskan pemuaian yang dipercepat dan pemuaian yang diperlambat oleh gravitasi. Model yang dimaksud belum “ditemukan”. Yang baru mungkin untuk dibangun adalah tawaran hipotetis teori terpadu: kuantum-gravitas yang didasarkan pada teorema matematis tentang “waktu imajiner” (Hawking, 1995a: 146-147). Terdapat tawaran teori dawai atau teori lubang cacing, namun bagi Hawking, seandainyapun Teori Segala Hal (Teory of Everything) ditemukan, itu baru merupakan suatu awal karena meskipun Teori Segala Hal akan mampu menjelaskan bagaimana kerja jagad raya itu dan mengapa jagad raya berkembang seperti itu, teori ini tidak akan mengatakan kepada kita mengapa jagad raya ada (Ferguson, 1995: 216).
Bagi Hawking, ruang-waktu itu berhingga namun tanpa tapal batas, dan oleh karenanya tidak perlu mengkhususkan tapal batas tersebut. Bagi Hawking “tapal batas” sama statusnya dengan singular-singular lain dalam “waktu objektif”. Peristiwa yang mungkin dipilih untuk diberi label “awal jagad raya dalam waktu imajiner” adalah sebuah titik biasa dalam rung-waktu sama dengan titik-titik lain. Hukum-hukum sains dengan demikian berlaku di titik awal seperti halnya di titik yang lain (Hawking, 1995b: 95). Dengan demikian Hawking menerima Determinisme ilmiah (Hawking, 1995b: 126), walau determinsme yang dimaksud adalah determinisme hukum-hukum fisis yang di dalamnya berlaku pula asas ketidakpastian, yang meyebabkan pula sistem yang di bawah pengaruh hukum itu bersifat tidak stabil dan mudah berubah ke keadaan “chaos” (Hawking, 1995b: 153).

D. Praanggapan Metafisis-epistemologis Kosmologi Hawking

Hawking menyadari sepenuhnya posisi yang diambilnya. Dalam sebuah presentasi di depan civitas akademika Caius College dalam bulan Mei 1992 (Hawking, 1995b: 40), Hawking secara terbuka “menjawab” tuduhan para filsuf dengan mengemukakan bahwa filsuf-filsuf kontemporer kebanyakan tidak memiliki latar belakang matematika yang memadai untuk menyejajarkan diri dengan perkembangan modern fisika teoritis. Sekalipun ada filsuf sains, kebanyakan mereka merupakan ilmuwan-ilmuwan yang tersisih karena tidak mampu membuat penemuan-penemuan baru dalam bidang fisika teoritis, lalu beralih ke penulisan filsafat fisika (Hawking, 1995b: 41). Hawking secara sinis membalas predikat yang diberikan para filsuf kepadanya, seperti: nominalis, instrumentalis, positivis, realis dengan menyatakan bahwa kemajuan fiska teoritis tidak ditentukan oleh kategori-kategori yang diciptakan oleh filsuf maupun ahli sejarah sains, melainkan usaha pemusatan nalar untuk mencari “self-consistency” dalam rangka pengembangan teori fisika, yang darinya dapat dibuat prakiraan-prakiraan yang kemudian dapat diuji dengan pengamatan (Hawking, 1995b: 41). Bagi Hawking, jika hasil pengamatan sesuai dengan prakiraan, itu bukan membuktikan kebenaran teori, melainkan hanya memperpanjang kelaikannya untuk membuat prakiraan-prakiraan lebih lanjut yang kelak akan diuji coba pula melalui pengamatan (Hawking, 1995b: 42).
Dari posisi yang diambilnya Hawking mengakui bahwa dia adalah seorang realis dalam arti percaya adanya jagad raya secara objektif ada di luar sana untuk diselidiki dan dipahami, dan sama sekali bukan solipsis yang hanya bermain-main dengan angan-angan sendiri. Secara epistemologis, suatu teori fisika hanyalah sebuah model matematik yang digunakan untuk menjabarkan hasil-hasil pengamatan. Sebuah teori dinyatakan baik bila model yang dihasilkannya bisa diandalkan, bila mampu menjelaskan sejumlah pengamatan, dan jika mampu pula memprakirakan hasil-hasil pengamatan baru (Hawking, 1995b: 43). Posisi yang diambil Hawking serupa dengan posisi fallibisme Popper, walau “koraborasi bukti” Popper lebih pada rumusan negatif, yakni bahwa suatu teori akan semakin kuat bila usaha-usaha untuk menyanggahnya mengalami kegagalan (Popper, 1963: 36). Hawking sendiri mengaku sulit untuk menjadi seorang realis, sementara yang dianggap realitas dikondisikan oleh “teori” yang diyakini. Namun Hawking tetap berpegang bahwa positivisme yang diambilnya merupakan satu-satunya “isme” yang mungkin bagi seseorang bila ia ingin menemukan hukum-hukum baru dan cara-cara baru untuk menjelaskan jagad raya (Hawking, 1995b: 44). Dengan demikian Hawking menolak metafisika yang mendasari fisika klasik yang memahami realitas sebagai sebuah “sejarah tunggal tertentu”. Metafisika yang demikian tidak lagi sesuai dengan prinsip dasar mekanika kuantum yang membuka realitas pada berbagai “kemungkinan sejarah”. Dalam teori kuantum tidak timbul masalah dengan “kucing Schrodinger” (McEvoy, 1997: 146-147), karena dua kemungkinan dapat muncul secara bersama-sama, karena dua fungsi gelombang menjadi satu (Hawking, 1995b: 45).

E. Refleksi Kritis atas Kosmologi Hawking

Sejauh teori kosmologi ilmiah Hawking diletakkan dalam kerangka “filsafat ilmu”, persoalan yang muncul lebih terkait dengan “issue-issue epistemologis” yang berkaitan dengan “hukum sains” dan “status epistemologis teori” (Hunnex, 1970: 5). Pada issue pertama, muncul persoalan “loncatan logis” bagaimana suatu generalisasi deskriptif dapat memiliki nilai peramalan. Pada issue kedua, muncul persoalan bagaimana pernyataan umum tentang entitas yang tidak dapat diamati, seperti halnya “partikel terkecil” dapat diteguhkan. Sejauh mana eksplanasi teori sungguh-sungguh memerikan “realitas yang sesungguhnya”? Bila lingkup fisika teoritis adalah “self-consistency”, sejauh mana testabilitasnya dapat diukur, terlebih bila “perangkat pengamatan” ataupun “eksperimen” untuk menyanggahnya atau pun meneguhkannya belum ada? Pernyataan Hawking bahwa jagad raya mandiri (self-contained) dan secara deterministis diatur oleh hukum-hukum sain (Hawking, 1995b: 85), sesungguhnya telah melampaui bukti-bukti observatoral yang sangat terbatas, yang tidak mengijinkan “over estimate” semacam itu. Bila bukti bukan penentu dalam fisika teoritis, sejauh mana “teori” yang dihasilkannya tidak jatuh dalam “fiksi” atau “pseudo ilmiah” belaka ? Secara metafisis tetap bisa dipertanyakan sejauh mana suatu “model matematis” mampu mewakili “realitas fisis”.
Dari segi antropologi metafisis, konsep proses jagad raya dan konsep ruang-waktu Hawking tidak banyak membantu menjawab tentang “hakikat eksistensi manusia”, karena berangkat dari kerangka teoritis yang mengandaikan eksistensi manusia di jagad raya muncul dari hukum ketidakpastian yang menyertai proses terbentuk dan hancurnya jagad raya. Juga, apapun “konsep manusia” maupun “kemajuan peradaban manusia” tidak banyak artinya bagi “jagad raya”, dalam arti manusia tidak akan mampu “mempengaruhi” atau pun “menghentikan” proses pemuaian jagad raya yang oleh Hawking dihipotesakan sedang mendekati titik kritis sebelum hancur dalam proses penyusutan.
Persoalan yang muncul dengan penerimaan terhadap fisika modern adalah “pemahaman baru” bahwa realitas fisis direduksi sebagai “energi”. Tidak ada energi maka tidak ada massa. Tidak ada massa maka tidak ada ruang. Tidak ada ruang maka tidak ada waktu (Hunnex, 1970: 16)

F. Penutup

Dari “uraian singkat” di atas kiranya bisa ditarik kesimpulan kecil bahwa Hawking ternyata tidak mampu keluar dari praanggapan metafisis-epistemologis yang telah mentradisi dalam ilmu fisika, yakni tradisi “positivistis’. Tradisi “positivistis” bagaimanapun harus diakui perannya dalam membangun “dunia fisik”, sebagaimana ditunjukkan oleh perkembangan ilmu alamiah dan teknologi. Namun bagaimanapun, sebagaimana penerimaan Hawking atas asas ketidakpastian Heisenberg, sejauh manapun fisika mengalami kemajuan, sulit kiranya untuk menjadi perangkat “peramalan”-determisnistik bagi proses-proses yang lebih rumit sebagaimana ada dalam “otak manusia”. Pada sisi inilah justru Hawking menunjukkan “kebesarannya”, bahwa semaju apapun ilmu fisika atau pun kosmologi ilmiah, ia tetap tidak akan mampu menjawab pertanyaan “untuk apa manusia ada”.

MAKALAH ULUMUL QUR’AN

2.1. PENGERTIAN ULUMUL QUR’AN

Perkataan Ulumul Qur’an berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu “Ulum” dan “Al-Qur’an” . Kata ‘Uluum jamak dari kata ‘ilmu. ‘Ilmu berarti al-fahmu walidraak (“paham dan menguasai”). Kemudian arti kata ini berubah menjadi masalah-masalah yang beraneka ragam yang disusun secara ilmiah. Dan al-Qur’an adalah kitab suci umat islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk menjadi pedoman hidup bagi manusia.
Jadi, yang dimaksud dengan ‘ULUUMUL QUR’AN ialah ilmu-ilmu yang membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan Qur’an dari segi asbaabun nuzuul, an-Nasikh wal mansukh, al-muhkam wal mutasyaabih, al-Makki wal Madani, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan Qur’an. Terkadang ilmu ini dinamakan juga USUULUT TAFSIIR (“dasar-dasar tafsir”), karena yang dibahas berkaitan dengan beberapa masalah yang harus diketahui oleh seorang mufasir sebagai sandaran dalam menafsirkan Qur’an.
Terdapat berbagai defenisi tentang yang dimaksud dengan Ulumul Qur’an ( ilmu ilmu al-qur’an ). contohnya yaitu :
Imam Al-Zarqani dalam kitabnya manahil al-irfan fi ulum al-qur’an merumuskan Ulumul Qur’an sebagai berikut : “ Pembahasan-pembahasan masalah yang berhubungan dengan al-qur’an, dari segi turunnya, urut-urutannya, pengumpulannya, penulisannya, bacaannya, mukjizatnya, nasikh mansukhnya, dan bantahan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan keragu-raguan terhadap al-qur’an dan sebagainya”.
Imam Al-Suyuthi dalam kitab itmamu al-dirayah mengatakan, Ulumul Qur’an adalah : “ ilmu yang membahas tentang keadaan al-qur’an dari segi turunnya, sanadnya, adabnya, makna – maknanya, baik yang berhubungan dengan lafal-lafalnya maupun yang berhubungan dengan hukum-hukumnya, dan sebagainya”.
Manna’ al-Qaththan memberikan definisi tentang pengertian Ulumul Qur’an sebagai berikut : “ Ilmu yang mencakup pembahasan-pambahasan yang berhubungan dangan al-Qur’an, darisegi pengetahuan tentang sebab-sabab diturunkannya, pengumpulan al-Qur’an dan urutan-urutannya, pengetahuan tantang aya-ayat Makkiyah dan Madaniyah, dan hal-hal lain yang ada hubungannya dengan al-Qur’an.

2.2 PERKEMBANGAN ULUMUL QUR’AN

Ulumul Qur’an itu sendiri bermula dari Rasulullah SAW, tetapi saat itu Rasulullah S.A.W tidak mengizinkan mereka menuliskan sesuatu dari dia selain Qur’an, karena ia khawatir Qur’an akan tercampur dengan yang lain. “ Muslim meriwayatkan dari Abu Sa’id al-khudri, bahwa rasulullah S.A.W berkata : “Janganlah kamu tulis dari aku; barang siapa yang menuliskan dari aku selain Qur’an, hendaklah dihapus. Dan ceritakan apa yang dariku; dan itu tiada halangan baginya. Dan barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, ia akan menempati tempatnya di api neraka.” Sekalipun sesudah itu, Rasulullah S.A.W baru mengizinkan kepada sebagian sahabat untuk menulis hadist, tetapi hal yang berhubungan dengan Qur’an, para sahabat menulis tetap didasarkan pada riwayat yang melalui petunjuk di zaman Rasulullah S.A.W., dimasa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar r.a.
Kemudian datang masa kekhalifahan Usman r.a dan keadaan menghendaki untuk menyatukan kaum muslimin pada satu mushaf. Dan hal itu pun terlaksana. Mushaf itu disebut mushaf imam. Salinan salinan mushaf itu juga dikirimkan ke beberapa propinsi. Penulisan mushaf tersebut dinamakan Rasmul ‘Usmani yaitu dinisbahkan kepada Usman.r.a. Dan ini dianggap sebagai permulaan dari ‘Ilmu Rasmil Qur’an.
Kemudian datang masa kekhalifahan Ali r.a. Dan atas perintahnya, Abul Aswad ad-Du’ali meletakkan kaidah kaidah Nahwu, cara pengucapan yang tepat, baku, dan memberikan ketentuan harakat pada Qur’an. Ini juga dianggap sebagai permulaan ‘Ilmu I’rabil Qur’an.
Para sahabat senantiasa melanjutkan usaha mereka dalam menyampaikan makna-makna Qur’an dan penafsiran ayat-ayatnya yang berbeda-beda dalam memahami dan karena adanya perbedaan lama dan tidaknya mereka hidup bersama Rasulullah SAW.
Hal yang demikian diteruskan oleh murid-murid mereka, yaitu para tabi’in. Diantara para mufasir yang termasyhur dari para sahabat adalah empat orang khalifah, kemudian Ibn Mas’ud, Ibn ‘Abbas, Ubai bin Ka’b, Zaid bin Sabit, Abu Musa al- Asy’ari dan Abdullah bin Zubair. Banyak riwayat mengenai tafsir yang diambil dari Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, dan Ubai bin Ka’b. Dan apa yang diriwayatkan dari mereka tidak berarti sudah merupakan tafsir Qur’an yang sempurna. Tetapi terbatas hanya pada makna beberapa ayat dengan penafsiran tentang apa yang masih samara dan penjelasan apa yang masih global. Mengenai para tabi’in, diantara mereka ada satu kelompok terkenal yang mengambil ilmu ini dari para sahabat disamping mereka sendiri bersungguh-sungguh atau melakukan ijtihad dalam menafsirkan ayat.
Diantara murid-murid Ibn Abbas di Mekkah yang terkenal ialah Sa’id bin jubair, Mujahid, ‘Ikrimah bekas sahaya (maula) Ibn Abbas, Tawus bin Kisan al-Yamani dan ‘Ataa’ bin Abi Rabaah. Dan terkenal pula diantara murid-murid Ubai bin Ka’b di medinah, Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’b al-Qurazi. Dari murid-murid Abdullah bin Mas’ud di Irak yang terkenal ‘Alqamah bin Qais, Masruq, al-Aswad bin Yazid, ‘Amir asy-Sya’bi, Hasan al-Basri dan Qatadah bin Di’amah as-Sadusi.
Ibnu Taimiyah berkata : “Adapun mengenai Ilmu tafsir, orang yang paling tahu adalah penduduk Mekkah, karena mereka sahabat Ibn Abbas, seperti Mujahid, ‘Ataa’ bin Abi Rabaah, ‘Ikrimah maula Ibn Abbas dan sahabat sahabat Ibn Abbas lainnya. Begitu juga penduduk Kufah dari sahabat Ibn Mas’ud; dan mereka itu mempunyai kelebihan dari ahli tafsir yang lain. Ulama penduduk Medinah dalam ilmu tafsir diantaranya adalah Zubair bin Aslam, Malik dan anaknya Abdurrahman serta Abdullah bin Wahb. Dan yang diriwayatkan dari mereka itu semua meliputi ilmu Tafsir, ilmu Gariibil Qur’an, ilmu Asbaabun Nuzuul, ilmu Makki Wal Madani, dan ilmu Nasikh dan Mansukh. Tetapi semua itu tetap didasarkan pada riwayat dengan cara didiktekan.
Pada abad kedua hijri tiba masa pembukuan (tadwiin)yang dimulai dengan pembukuan hadist dengan segala babnya yang bermacam-macam,dan itu juga menyangkut hal berhubungan dengan tafsir. Maka sebagian ulama membukukan tafsir Qur’an yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW, dari para sahabat atau dari para tabi’in. Diantara mereka itu, yang terkenal adalah Yazid bin Harun as-Sulami (wafat 117H), Syu’bah bin Hajjaj (wafat 160H), Waki’ bin Jarraah (wafat 197H), Sufyan bin ‘Uyainah (wafat 198), dan ‘Abdurrazzaq bin hammam (wafat 112H).Mereka semua adalah para ahli hadist. Sedang tafsir yang mereka susun merupakan salah satu bagiannya. Namun tafsir mereka yang tertulis tidak ada yang sampai ke tangan kita.
Kemudian langkah mereka diikuti oleh segolongan ulama. Mereka menyusun tafsir Qur’an yang lebih sempurna berdasarkan susunan ayat. Dan yang paling terkenal diantara mereka ada Ibn Jarir at-Tabari (wafat 310H).
Demikianlah tafsir pada mulanya dinukilkan (dipindahkan) melalui penerimaan (dari mulut ke mulut) dari riwayat, kemudian dibukukan sebagai salah satu bagian hadist; selanjutnya ditulis secara bebas dan mandiri. Maka berlangsunglah proses kelahiran at-tafsir bil ma’sur (berdasarkan riwayat), lalu diikuti oleh at-tafsir bir ra’yi (berdasarkan penalaran).
Disamping ilmu tafsir, lahir pula karangan yang berdiri sendiri mengenai pokok-pokok pembahasan tertentu yang berhubungan dengan Qur’an, dan hal ini sangat diperlukan oleh seorang mufasir.
Pada abad ketiga hijri, ada:
- Ali bin al-Madani (wafat 234H), guru Bukhari, menyusun karangannya mengenai asbaabun nuzuul.
- Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam (wafat 224H), menulis tentang Nasikh-Mansukh dan Qira’aat.
- Ibn Qutaibah (wafat 276H), menyusun tentang problematika Qur’an / Musykilatul Qur’an.

Pada abad keempat hijri, ada :
- Muhammad bin khalaf bin Marzaban (wafat 309H), menyusun al-Haawii faa ‘Uluumil Qur’an.
- Abu Muhammad bin Qasim al-Anbari (wafat 351H), juga menulis tentang ilmu-ilmu Qur’an.
- Abu Bakar as-Sijistani (wafat 330H), menyusun Ghariibil Qur’an.
- Muhammad bin Ali al-Adfawi (wafat 388H), menyusun al-Istignaa’fi ‘Uluumil Qur’an.

Kemudian kegiatan karang mengarang dalam hal ilmu ilmu Qur’an tetap berlangsung sesudah itu, seperti :
- Abu Bakar al-Baqalani (wafat 403H), menyusun I’jazul Qur’an.
- Ali bin Ibrahim bin Sa’id al-Hufi (wafat 430H), menulis mengenai I’raabul Qur’an.
- Al-Mawardi (wafat 450H), menyusun tentang tamsil-tamsil dalam Qur’an (Amsaalul Qur’an).
- Al-‘Izz bin ‘Abdus Salam (wafat 660H), menyusun tentang majaz dalam Qur’an.
- ‘Alamuddin as-Sakhawi (wafat 634H), menulis mengenai ilmu Qira’at (cara membaca Qur’an) dan Aqsaaul Qur’an.
Setiap penulis dalam karangannya itu menulis bidang dan pembahasan tertentu yang berhubungan dengan ilmu-ilmu Qur’an. Sedang pengumpulan hasil pembahasan dan bidang-bidang tersebut mengenai ilmu-ilmu Qur’an, semuanya atau sebagian besarnya dalam satu karangan, maka Syaikh Muhammad ‘Abdul ‘Aziim az-Zarqaani menyebutkan didalam kitabnya Manaahilul ‘Irfan fi ‘Uluumil Qur’an bahwa ia telah menemukan didalam perpustakaan Mesir sebuah kitab yang ditulis oleh Ali bin Ibrahim bin Sa’id yang terkenal dengan al-Hufi, judulnya al-Burhaan fi ‘uluumil Qur’an yang terdiri atas tiga puluh jilid.
Pengarang membicarakan ayat-ayat Qur’an menurut tertib mushaf. Dia membicarakan ilmu-ilmu Qur’an yang dikandung ayat itu secara tersendiri, masing-masing diberi judul sendiri pula, dan judul yang umum disebut dengan al-Qaul fii Qaulihi ‘Azza wa jalla (pendapat mengenai firman Allah ‘Azza wa jalla). Kemudian dibawah judul ini dicantumkan :
- al-Qaul fil I’rab (pendapat mengenai morfologi)
- al-Qaul fil ma’naa wat Tafsir (pendapat mengenai makna dan tafsirnya)
- al-Qaul fil waqfi wat tamaam ( pendapat mengenai tanda berhenti dan tidak)
Sedangkan Qira’at diletakkan dalam judul tersendiri pula, yang disebut al-Qaul fil Qira’at (pendapat mengenai qira’at). Dan kadang ia berbicara tentang hukum-hukum dalam Qur’an.
Dengan metode seperti ini, al-Hufi (wafat 330H) dianggap sebagai orang pertama yang membukukan ‘Ulumul Qur’an/ ilmu-ilmu Qur’an. Meskipun pembukuannya memakai cara tertentu seperti yang disebut diatas.
Kemudian karang mengarang tentang ilmu-ilmu Qur’an terus berlanjut, seperti ada :
- Ibnul jauzi (wafat 597H), dengan menulis sebuah kitab berjudul Funuunul Afnaan fi ‘Aja’ibi ‘Uluumil Qur’an.
- Badruddin az-Zarkasyi (wafat 794H), menulis sebuah kitab lengkap dengan judul al-Burhaan fi ‘Uluumil Qur’an.
- Jalaluddin al-Balqini (wafat 824H), memberikan tambahan atas kitab al-Burhan didalam kitabnya Mawaqi’ul ‘Uluum min Mawaaqi’in Nujuum.
- Jalaluddin as-Suyuti (wafat 911H), menyusun kitab yang terkenal al-Itqaan fi Uluumil Qur’an.
Kepustakaan ilmu-ilmu Qur’an pada masa kebangkitan modern tidaklah lebih kecil daripada nasib ilmu-ilmu yang lain. Orang-orang yang menghubungkan diri dengan gerakan pemikiran islam telah mengambil langkah yang positif dalam membahas kandungan Qur’an dengan metode baru pula, seperti :
- Kitab I’jaazul Qur’an, yang ditulis oleh Mustafa Sadiq ar-Rafi’i.
- Kitab at-Taswiirul Fanni fil Qur’an dan Masyaahidul Qiyaamah fil Qur’an, oleh Sayid Qutb.
- Kitab Tarjamatul Qur’an, oleh Muhammad Mustafa al-Maragi.
- Kitab Mas’alatu Tarjamatil Qur’an, oleh Mustafa Sabri.
- Kitab an-Naba’ul ‘Aziim, oleh Dr. Muhammad ‘Abdullah Daraz.
- Kitab Mukaddimah tafsir Mahaasinut Ta’wil, oleh Jamaluddin al-Qasimi.
- Kitab at-Tibyaan fi ‘uluumil Qur’an, oleh Syaikh Tahir al-Jaza’iri.
- Kitab Manhajul Furqaan fi ‘Uluumil Qur’an, oleh Syaikh Muhammad ‘Ali Salamah.
- Kitab Manaahilul ‘irfan fi ‘Uluumil Qur’an, oleh Muhammad ‘Abdul ‘Azim az-Zarqani.
- Kitab Muzakkiraat ‘Uluumil Qur’an, oleh Syaikh Ahmad ‘Ali.
Dan akhirnya muncul Kitab Mabaahisu fi ‘Uluumil Qur’an oleh Dr. Subhi as-Salih. Juga diikuti oleh Ustadz Ahmad Muhammad Jaml yang menulis beberapa studi sekitar masalah “Maa’idah” dalam Qur’an.
Pembahasan-pembahasan tersebut diatas dikenal dengan sebutan ‘ULUUMUL QUR’AN, dan kata ini telah menjadi istilah atau nama khusus bagi ilmu-ilmu tersebut.

2.3 RUANG LINGKUP ULUMUL QUR’AN

Dari uraian diatas tersebut tergambar bahwa Ulumul Qur’an adalah ilmu-ilmu yang berhubungan dengan berbagai aspek yang terkait dengan keperluan membahas al-qur’an seperti segi asbaabun nuzuul, an-Nasikh wal mansukh, al-muhkam wal mutasyaabih, al-Makki wal Madani, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan Qur’an.Subhi al-shalih lebih lanjut menjelaskan bahwa para perintis ilmu al-qur’an adalah sebagai berikut :
Dari kalangan sahabat nabi
Dari kalangan tabi’in di madinah
Dari kalangan tabi’ut tabi’in (generasi ketiga kaum muslimin)
Dan dari generasi-generasi setelah itu.
Para ulama mufasir dari semua kalangan dan generasi-generasi yang tercakup dalam lingkup Uluumul Qur’an menafsirkan Qur’an selalu berpegang pada :



1). Al-Qur’anul Karim
Sebab apa yang yang dikemukakan secara global di satu tempat/ayat dijelaskan secara terperinci ditempat/ayat yang lain. Terkadang pula sebuah ayat datang dalam bentuk mutlaq atau umum namun kemudian disusul oleh ayat lain yang membatasi atau mengkhususkannya. Inilah yang dinamakan “Tafsir Qur’an dengan Qur’an”.

2). Nabi S.A.W
Mengingat beliaulah yang bertugas untuk menjelaskan Qur’an. Karena itu wajarlah kalau para sahabat bertanya kepada beliau ketika mendapatkan kesulitan dalam memahami sesuatu ayat. Diantara kandungan Qur’an terdapat ayat ayat yang tidak dapat diketahui ta’wilnya kecuali melalui penjelasan Rasulullah . misalnya rincian tentang perintah dan larangan-Nya serta ketentuan mengenai hukum-hukum yang difardhukan-Nya.

3). Para Sahabat
Mengingat para sahabatlah yang paling dekat dan tahu dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Riwayat dari para sahabat yang berasal dari Rasulullah SAW cukup menjadi
\acuan dalam mengembangkan ilmu-ilmu Qur’an. Dan yang cukup banyak menafsirkan Qur’an seperti empat orang khalifah dan para sahabat lainnya

4). Pemahaman dan ijtihad
Apabila para sahabat tidak mendapatkan tafsiran dalam Qur’an dan tidak pula mendapatkan sesuatu pun yang berhubungan dengan hal itu dari Rasulullah, dan banyak perbedaan-perbedaan dari kalangan sahabat, maka mereka melakukan ijtihad dengan mengerahkan segenap kemampuan nalar. Ini mengingat mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat menguasai bahasa Arab, memahaminya dengan baik dan mengetahui aspek-aspek yang ada didalamnya.
Pada masa kalangan sahabat, tidak ada sedikit pun tafsir / ilmu ilmu tentang Qur’an yang dibukukan, sebab pembukuan baru dilakukan pada abad kedua hijri. Masa pembukuan dimulai pada akhir dinasti Bani Umayah dan awal dinasti Abbasiyah.



2.4 CABANG CABANG ULUMUL QUR’AN

Secara garis besar Ulumul Qur’an terbagi dua, yaitu:
- Ilmu yang berhubungan dengan riwayat semata mata, seperti ilmu qira’at, tempat turunnya ayat-ayat al-qur’an, waktu turunnya, dan sebab-sebabnya.
- Ilmu yang berhubungan dirayah, yakni ilmu yang diperoleh dengan jalan penelaahan secara mendalam seperti memahami lafal yang gharib (asing pengertiannya) serta mengetahui makna ayat yang berhubungan dengan hukum.
Tujuan mempelajari ulumul qur’an ini adalah untuk memperoleh keahlian dalam mengistimbath hukum syara’, baik mengenai keyakinan atau I’tiqad, amalan, budi pekerti, maupun lainnya. Cabang-cabang dari Ulumul Qur’an adalah sebagai berikut :
1. Ilmu Mawathin al-nuzul yaitu : ilmu yang menerangkan tempat tempat turunnya ayat, masanya, awal dan akhirnya.
2. lmu Tawarikh al-nuzul yaitu : ilmu yang menerangkan dan menjelaskan masa turun ayat dan tertib turunnya, satu demi satu dari awal turun hingga akhirnya, dan tertib turun surat dengan sempurna.
3. Ilmu Asbab al-nuzul yaitu : ilmu yang menerangkan sebab sebab turunnya ayat.
4.Ilmu Qira’at yaitu : ilmu yang menerangkan rupa-rupa Qira’at ( bacaan Al-Qur’an yang diterima dari Rasulullah SAW ).
5. Ilmu tajwid yaitu : ilmu yang menerangkan cara membaca al-qur’an, tempat mulai dan pemberhentiannya.
6. Ilmu Gharib al-qur’an yaitu : ilmu yang menerangkan makna kata-kata yang ganjil yang tidak terdapat dalam kitab-kitab biasa, atau tidak terdapat dalam percakapan sehari-hari. Ilmu
ini menerangkan makna-makna kata yang halus, tinggi, dan pelik.
7. Ilmu I’rabil qur’an yaitu : ilmu yang menerangkan baris al-qur’an dan kedudukan lafal dalam ta’bir ( susunan kalimat ).
8. Ilmu Wujuh wa al-nazhair yaitu : ilmu yang menerangkan kata-kata al-qur’an yang banyak arti, menerangkan makna yang dimaksud pada satu-satu tempat.
9. Ilmu Ma’rifat al-muhkam wa al-mutasyabih yaitu : ilmu yang menyatakan ayat ayat yang dipandang muhkam dan ayat ayat yang dianggap mutasyabih.


10. Ilmu Al-Nasikh wa al-Mansukh yaitu : ilmu yang menerangkan ayat ayat yang dianggap mansukh oleh sebagian mufasir.
11. Ilmu Bada’I al-qur’an yaitu : ilmu yang membahas keindahan keindahan al-qur’an. ilmu ini menerangkan kesusastraan al-qur’an, kepelikan, dan ketinggian balaghahnya.
12. Ilmu I’jaz al-qur’an yaitu : ilmu yang menerangkan kekuatan susunan tutur al-qur’an, sehingga ia dipandang sebagai mukjizat.
13. Ilmu Tanasub ayat al-qur’an yaitu : ilmu yang menerangkan persesuaian antara suatu ayat dengan ayat sebelum dan sesudahnya.
14. Ilmu Aqsam al-qur’an yaitu : ilmu yang menerangkan arti dan maksud-maksud sumpah tuhan atau sumpah-sumpah lainnya yang terdapat di al-qur’an.
15. Ilmu Amtsal al-qur’an yaitu : ilmu yang menerangkan segala perumpamaan yang ada dalam al-qur’an.
16. Ilmu Jidal al-qur’an yaitu : ilmu untuk mengetahui rupa rupa debat yang dihadapkan al-qur’an kepada kaum musyrikin dan lainnya.
17. Ilmu Adab al-tilawah al-qur’an yaitu : ilmu yang mempelajari segala bentuk aturan yang harus dipakai dan dilaksanakan didalam membaca al-qur’an. Segala kesusilaan, kesopanan, dan ketentuan yang harus dijaga ketika membaca al-qur’an.
18. Dan ilmu-ilmu lain yang membahas tentang Al-Qur’an.













BAB III
PANUTUP

3.1 Kesimpulan
Perkataan Ulumul Qur’an berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu “Ulum” dan “Al-Qur’an” . Kata ‘Uluum jamak dari kata ‘ilmu. ‘Ilmu berarti al-fahmu walidraak (“paham dan menguasai”). Kemudian arti kata ini berubah menjadi masalah-masalah yang beraneka ragam yang disusun secara ilmiah. Dan al-Qur’an adalah kitab suci umat islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk menjadi pedoman hidup manusia.
Jadi, yang dimaksud dengan ‘ULUUMUL QUR’AN ialah ilmu-ilmu yang membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan Qur’an dari segi asbaabun nuzuul, an-Nasikh wal mansukh, al-muhkam wal mutasyaabih, al-Makki wal Madani, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan Qur’an. Dalam perkembangannya di mulai sjak zaman Rosululloh kemudian sahabat, para tabi’in, tabi’it tabi’in dan sampai pada kita. Dan dalam perkembangannya di bagi ke dalam 2 fase yaitu prakodifikasi dan fase kodifikasi.
Ruang lingkup yang dipelajari yaitu segala sesuatu yang mempelajeri al-Qur’an. Dan banyak sekali cabang-cabang yang mempelajari ini yaitu sebanyak 17 cabang ilmu.


3.2 Saran
Diaharapkan dengan mengetahui dan memahami Ulumul Qur’an dan Perkembangannya kita lebih mengerti tentang Al Qur’an. Dengan demikian dapat lebih mengkaji tentang Al Qur’an, karena ilmu pemahaman Al Qur’an beitu luas jika kita kaji. Dan juga dalam membaca Al Qur’an jangan hanya sekedar membaca tetapi juga dimengerti dan dipahami.






DAFTAR PUSATAKA

Amin Suma, Muhammad.2000. studi ilmu-ilmu Al-Qur’an (1). Jakarta: Pustaka Firdaus.
Amin Suma, Muhammad.2004. studi ilmu-ilmu Al-Qur’an (2). Jakarta: Pustaka Firdaus.
Anwar, Rosihan.2008. Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Setia.
Ash Shidduqie, Hasby.1997. Sejarah-Sejarah Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Jakarta: Pustaka Rizqi Putra.
Marzuki, Kamaludin.1994. ‘Ulum Al-Qur’an. Bandung: Remaja rosdakarya.
Anwar, Abu. 2002. Ulumul Qur’an. Pekanbaru : Sinar Grafika.
Abdul, W. Ramli. 1994. Ulumul Qur’an. Jakarta : Rajawali.
Syadali, Ahmad. 1997. Ulumul Qur’an. Bandung : CV. Pustaka Setia

PEMIKIRAN POLITIK SUNNI, SYIAH, KHAWARIJ DAN MU’TAZILAH(makalah)

PEMIKIRAN POLITIK SUNNI, SYIAH, KHAWARIJ DAN MU’TAZILAH

A.PENDAHULUAN

Suatu hal yang perlu mendapat catatan dalam dunia pepolitikan Nabi Muhammad SAW dalam praktiknya baik mengenai mendirikan dan sekaligus memimpin Negara Madinah merupakan sebuah isyarat bahwasannya keberadaan sebuah negara sangatlah penting.Namun satu hal lagi mengenai Piagam Madinah yang menjadi sebuah kostitusi di era kepemimpinan Nabi Muhammad SAW tidak menyebutkan agama negara.
Dengan berbagai macam pikiran politik yang akan dibahas kali ini sekiranya kita dapat mengetahui beberapa pandangan – pandangan masing – masing kelompok sehingga dapat menemukan apa inti dari pemikiran berbagai kelompok ini.

B.PEMBAHASAN
PEMIKIRAN POLITIK SUNNI

Sebagai kelompok mayoritas, pola pikir politik kaum Sunni biasanya sangat pro kepada pemerintah yang berkuasa.Pemikiran – pemikiran dari ahli – ahli politik Sunni cenderung membela dan mempertahankan kekuasaan.Tidak jarang pula pemikiran politik dan kenegaraan mereka menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan khalifah yang memerintahkan , namun atas pendapat ini Mujar Ibnu Syarif memberikan sebuah solusi ketika makalah ini dipresentasikan bahwasannya pendapat diatas merupakan suatu hal yang darurat.

Ibnu Taimiyah sebagaimana dijelaskan Iqbal, telas merumuskan bahwa enam puluh tahun berada di bawah rezim penguasa zalim lebih baik daripada sehari hidup tanpa pemimpin.Munawir Sjadzali dalam bukunya Islam dan Tata Negara mengemukakan pendapat Ghazali, Ibnu Ali Rabi’ dan Ibnu Taimiyah yang telah menyatakan dengan tegas bahwasannya kekuasaan kepada negara atau raja itu merupakan mandat dari Tuhan yang diberikan kepada hamba – hamba pilihan – Nya, dan disebutkan pula bahwa ketiga pemikir itu berpendirian bahwa khalifah itu adalah Ghazali adalah muqaddas atau suci, tidak dapat diganggu gugat. Ibnu Abi Rabi’ mencari dasar lagi legitimasi keistimewaan hak – hak khalifah atas rakyatnya dalam ajaran agama, yaitu

Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa – penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa erajat.Untuk mengujimu tentang apa yang diberikan – Nya kepadamu.Sesunguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan – Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampuan lagi Maha Penyayang.(QS.Al – An’am, 6:165).


Hai orang –orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu.Kemudian jika berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al – Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar – benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(QS.Al – Nisa’,4:59).
Menurut Ibn Abi Rabi’, kedua ayat diatas merupakan penegasan Allah bahwa Ia telah memberi keistimewaan kepada para raja dengan segala keutamaan dan memperkokoh kedudukan mereka di bumi – Nya.Disamping itu Allah SWT mewajibkan kepada para ulama untuk menghormati, mengagungkan dan mentaati perintah mereka.Pandangan hampir serupa dikemukakan oleh al – Ghazali sumber kekuasaan adalah Tuhan, dan lebih jauh dikatakan bahwa pembentukan negara bukanlah berdasarkan pertimbangan rasio, melainkan berdasarkan perintah syar’i, menurutnya, mustahil ajaran – ajaran agama dapat terlaksana dengan baik kalau kondisinya tidak mendukung, sedang pendukungnya adalah negara.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa keberadaan kepala negara dibutuhkan umat Islam tidak hanya sekedar menjamin jiwa dan harta masyarakatnya, tetapi juga untuk menjamin jalannya hukum – hukum Tuhan.Sebagai konsekwensi dari kekuasaan kepala negara yang sakral, baik Ibn Abi Rabi’, Ibn Taimiyah mengharamkan umat Islam untuk melakukan pemberontakan terhadap kepala negara meskipun kafir, selama ia masih menjalankan keadilan dan tidak menyuruh berbuat maksiat kepada Allah.
Mawardi berpendapat bahwa sumber kekuasaan kepala negara adalah berdasarkan perjanjian antara agama dan rakyatnya atau adanya kontrak sosial.Dari pendapat Mawardi ini lahirlah hak dan kewajiban secara timbal balik antara kedua belah pihak yakni rakyat dan penguasa.Suatu hal yang perlu mendapat perhatian dari al – Mawardi yakni menekankan kepatuhan terhadap kepala negara (pemimpin) yang telah terpilih.
Kepatuhan ini tidak hanya kepada pemimpin yang adil, tetapi juga kepada pemimpin yang jahat.
Ciri lain didalam pemikiran politik golongan Sunni ini adalah penekanan mereka terhadap suku Quraisy sebagai kepala negara walaupun Ibn Abi Rabi’ tidak menyinggungnya secara tegas, dan Muhammad Iqbal memasukkan pemikiran Muhammad Rasyid Ridha yang hidup dimasa modern yang masih menekankan suku Quraisy di dalam pemikiran politiknya.
Namun sebagai mana disinggung Iqbal pula yang memasukkan pola pemikiran Ibnu Khaldun yang menyatakan bahwa syarat Quraisy bukanlah sebuah harga mati.


PEMIKIRAN POLITIK SYI’AH
Sebelum merambah lebih jauh lebih jauh mengenai pemikiran politik Syi’ah terasa tidak sah dan nyaman bila tidak mengetahui sejarah lahirnya kelompok ini.Mengenai kelahiran kelompok ini banyak sekali aneka ragamnya, sebagaimana dijelaskan oleh Iqbal yang mengatakan bahwasannya Syi’ah lahir sebagai reaksi atas mayoritas kelompok Sunni yang sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW telah mendominasi dalam percaturan politik Islam , selanjutnya Munawir Sjadzali mengatakan titik awal dari lahirnya Syi’ah karena berawal dari ketidak setujuan atas kekhalifahan Abu Bakar dan berpendirian bahwa yang berhak menjadi khalifah adalah Ali , para ahli penulis sejarah sebagaimana dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam sebagian menganggap Syi’ah lahir setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, yaitu pada saat perebutan kekuasaan antara golongan Muhajirin dan Anshor di Balai pertemuan Saqifah Bani Sa’idah , yang diselenggarakan di gedung pertemuan yang dikenal dengan Dar al – Nadwa di Madinah , dan lebih jauh dijelaskan sebagian ahli sejarah menganggap Syi’ah lahir pada masa akhir khalifah Usman bin Affan atau pada masa awal kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dan dijelaskan dalam Ensiklopedi itu lebih jauh mengatakan bahwasannya pendapat yang paling populer adalah bahwa Syi’ah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan Ali dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Siffin, yang lazim disebut sebagai peristiwa at – Tahkim atau arbitasi.Dan Abu Zahroh memperkuat atas pendapat ini dengan mengatakan bahwasannya Syi’ah adalah mazhab politik pertama lahir dalam Islam, mazhab mereka tampil pada akhir pemerintahan Atsman, kemudian tampil pada akhir masa Ali.
Pada perkembangan selanjutnya, aliran Syi’ah ini terpecah menjadi puluhan cabang atau sekte, hal ini disebabkan karena cara pandang yang berbeda dikalangan mereka mengenai sifat imam ma’shum atau tidak dan perbedaan didalam menentukan pengganti imam.

Kaum Syi’ah menetapkan bahwa seorang imam:
1. Harus ma’shum (terpelihara) salah, lupa, dan maksiat.
2. Seorang imam boleh membuat hal luar biasa dari adat kebiasaan.
3. Seorang iam harus memiliki ilmu yang meliputi setiap sesuatu yang berhubugan dengan syari’at.
4. Imam adalah pembela agama dan pemelihara kemurnian dan kelestarian agar terhindar dari penyelewengan.
Tidak seperti kelompok syi’ah lainnya Syi’ah Zaidiyah tidak menganut paham dan teori imam bersembunyi.Bagi mereka imam harus memimpin umat dan berasal dari keturunan Ali dan Fatimah, Syi’ah Zaidiyah tidak meyakini bahwa Nabi telah menetapkan orang dan nama tertentu untuk menjadi imam.Nabi hanya menetapkan sifat – sifat yang mesti dimiliki seorang imam yang akan menggantikan beliau.Terjadinya pengkultusan terhadap diri Ali oleh kaum Syi’ah sebagaimn dijelaskan oleh suyuti merupakan tidak bisa lepas dari pendapat Khawrij yang mengkafirkan Ali sejak peristiwa tahkim (arbitrase).Tentunya untuk mengimbangi pernyatan dari kaum yang mereka anggap berseberangan dengan mereka ini maka kelompok Syi’ah membuat doktrin untuk menyeimbangi hal tersebut, yaitu mengangkat dan mengkultuskan pada tingkat ma’shum, dan mendoktrin bahwa ia telah ditetapkan melalui wasiat Nabi sebagai imam untuk pengganti Nabi.
Iqbal menulis, secara sosio – politik, berkembangnya doktrin Syi’ah dipengaruhi oleh beberapa faktor.Pertama, imam – imam Syi’ah, selain Ali Ibn Abi Thalib, tidak pernah memegang kekuaaan politik.Mereka lebih memperlihatkan sosoknya yang memiliki integritas dan kesalehan yang tinggi.Merek tidak memiliki pengalaman praktis dalam memerintah dan menangani permaslahan politik riil.Ketika mereka melihat realitas politik tidak sesuai dengan nilai – nilai keislaman sebagaiman mereka inginkan, maka mereka mengembangkan doktrin kema’shuman imam.Sebagian pemimpin yang ide.Kedua, sebagian pengikut syi’ah berasal dari Persia ikut membentuk paradigma dalam corak pemikiran Syi’ah, yang diketahui mereka dahulukalanya yakni mengagungkan raja dan menganggapnya sebagai manusia suci, hal ini terlihat pada salah satu kelompok ini yang mempunyai suatu paradigma yakni imam Ali adalah penjelmaan Tuhan yang tinggi martabatnya bahkan dari Nabi Muhammad sendiri.Ketiga, pengalaman pahit yang selalu dialami pengikut Syi’ah dalam percaturan politik ikut mempengaruhi berkembangnya doktrin al – Mahdi al – Muntatazhar yang akan melepaskan mereka dari penderitaan.
Dari sekian banyak kelompok ditubuh syi’ah, Iqbal mengelompokkan golongan ini menjadi tiga aliran:pertama: Moderat, umumnya memandang Ali sebagai manusia biasa, dapat menerima kekhalifahan Abu Bakar dan Umar.Kedua:Ekstrem, menempatkan Ali sebagai seorang nabi yang lebih tinggi dari Nabi Muhammad sendiri, bahkan ada yang mengnggap Ali sebagai penjelmaan tuhan.Ketiga: diantara kedua kelompok diatas, Ali sebagai pewaris yang sah jabatan khalifah dan menuduh Abu Bakar dan Umar telah merebutnya dari tangan Ali, tidak memperlakukan Ali tidak seperti nabi yang lebih utama dari Nabi Muhammad, apa lagi penjelmaan Tuhan.
Diantara sekian banyak sekte, terdapat 3 sekte besar dan berpengaruh dalammazhab Syi’ah hingga sekarang yaitu: Zaidiyyah, Ismailiyyah (Sab’iyyah), dan Imamiyah (Isna’ Asy’ariyah).
Sebelum membahs lebih lanjut sebaiknya mengetahui nama – nama masing imam dalam tubuh Syi’ah:
1. Zaidiyah: Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein Ibn Ali, Ali Zaenal Abidin, Zaid ibn Ali.
2. Isma’iliyah atau Sab’iyah: Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein ibn Ali, Ali Zaenal Abidin, Muhammad al – Baqir, Ja’far al – Shadiq, Isma’il ibn Ali.
3. Imamiyyah atau Isna ‘Asyariyah: Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein ibn Ali, Ali Zaenal Abidin, Muhammad al – Baqir, Ja’far al – Shadiq, Musa al – Kadzim, Ali al – Ridho, Muhammad al – Taqi’, Ali al – Hadi, Hasan al – Askari, Muhammad al – Mahdi.
Untuk memperjelas paham syi’ah ini perlu dikethui ad beberapa paham yang berkembang diklangan mereka dan mengalami perbedaan – perbedaan, an untuk mempermudah alam permahaman kelompok atau sekte dalam tubuh Syi’ah ini dapat kita lihat di bagan berikut:



Skema Perpecahan dalam tubuh Syi’ah
1. Ali

2. Hasan

3. Husein

Perbandingan paham dalam mazhab Syi’ah

Sekte Kualifikasi Imam
Jumlah Imam Dasar pengangkatan Harus ‘Ali Ismah Ghabiah intizhar
Zaidiyah 5 Orang
‘Ali bin Abi Thalib. Husen Ibn ‘Ali. ‘Ali Zainal al-‘Abidin Zaid ibn Ali Isyarat sifat-sifat imam oleh Nabi Saw. Tidak Tidak Tidak
Isma’iyah tsabiyah 5 Orang
‘Ali bin Abi Thalib. Husen Ibn ‘Ali. ‘Ali Zainal al-‘Abidin Muhammad al-Baqir. Ja’far al-shadiq. Isma’il ibn Jafar Ya Ya (tidak pernah) Ya Ya
Imamiyah (Isna ‘Asy Anyah 12 Orang
‘Ali bin Abi Thalib. Husen Ibn ‘Ali. ‘Ali Zainal al-‘Abidin Muhammad al-Baqir. Ja’far al-shadiq. Musa al-Kharim, ‘Ali al-Ridha. Muhammad al-Taqi’. ‘Ali al-‘Aska
Muhammad al-Mahdi Ya Ya (tidak pernah) Ya Ya

PEMIKIRAN POLITIK KHAWARIJ

Kelompok Khawarij muncul bersama dengan mazhab Syi’ah.Masing – masing muncul sebagai sebuah mazhab pada pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib.Pada awalnya kelompok ini adalah para pendukung Ali bin Abi Thalib, meskipun pemikiran kelompok ini lebih dahulu dari pada mazhab Syi’ah.
Khawarij adalah kelompok sempalan yang memisahkan diri dari barisan Ali setelah arbitase atau tahkim yang mengakhiri perseteruan dan kontak senjata antara Ali dan Mu’awiyah di Siffin. Dan suatu hal yang aneh kelompok yang semula merupakan sebuah kelompok yang memaksa Ali untuk menerima tahkim dan menunjuk orang yang menjadi hakim atas pilihan mereka ketika Ali pada mulanya hendak mengangkat Abdullah Ibn Abbas, tetapi atas desakan pasukan yang keluar (Khawarij) akhirnya mengangkat Abu Musa al – Asy’ari, belakangan memandang perbuatan tahkim sebagai kejahatan besar, menurut kelompok ini Ali telah menjadi kafir kerana menyetujui tahkim dan menuntut Ali agar bertaubat sebagaimana mereka telah kafir, tetapi mereka telah bertaubat.Pegikut Khawarij terdiri dari suku Arab Badui yang masih sederhana cara berfikirnya, sikap keagamaan mereka sangat ekstrim dan sulit menerima perbedaan pendapat dan diterangkan oleh Abu Zahroh bahwasannya para pengikut kelompok Khawarij pada umumnya terdiri atas orang Arab pegunungan yang ceroboh dan berpikiran dangkal, beberapa sikap ekstrim ini pula yang membuat kelompok ini terpecah – pecah menjadi beberapa kelompok.
Menurut mereka, hak untuk menjadi kahalifah tidak terbasta pada keluarga atau kabilah tertentu dari kalangan Arab, bukan monopoli bangsa tertentu tetapi hak semua manusia. Meskipun mereka cenderung ekstrim dan sulit menerima perbedaan sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Iqbal bahwasannya pandangan mereka yang lebih maju dari pada Sunni maupun Syi’ah.Mereka dapat menerima pemerintahan Abu Bakar, Umar, Utsman pada enam tahun pertama dan Ali sebelum menerima arbitase dengan alasan pemerintahan mereka pada masa sesuai dengan ketentuan syari’at.
Suatu hal yang lebih jauh Iqbal membandingkan dengan kelompok Sunni dan Syi’ah, Khawarij tidak mengakui hak – hak istimewa orang atau kelompok tertentu untuk menduduki jabatan khalifah.Jabatan khalifah bukan monopoli mutlak suku Quraisy sebagaimana pandangan Sunni misalkan saja pandangan al – Ghazali, al – Juwaini, al – Asqolani, al – Maududi dan Ibnu Khaldun dan ungkapan yang tersirat pada pandangan Ibnu Abi Rabi’ dan pandangan Muhammad Rasyid Ridho yang hidup pada masa modern, juga bukan hak khusus Ali dan keluarga sebagaimana pandangan kaum Syi’ah.Mungkin untuk mempertegas masalah ini kita melihat beberapa prinsip yang disepakati oleh aliran – aliran Khawarij.
Pertama, pengangkatan khalifah akan sah hanya jika berdasarkan pemilihan yang benar – benar bebas dan dilakukan oleh semua umat Islam tanpa diskriminasi.Seorang khalifah tetap pada jabatannya selama ia berlaku adil, melaksanakan syari’at , serta jauh dari kesalahan dan penyelewengan.Jika ia menyimpang, ia wajib dijatuhi hukuman yang berupa dijatuhkan dari jabatannya atau dibunuh.
Kedua, jabatan khalifah bukan hak khusus keluarga Arab tertentu, bukan monopoli suku Quraisy sebagai dianut golongan lain, bukan pula khusus untuk orang Arab dengan menafikan bangsa lain, melainkan semua bangsa mempunyai hak yang sama.Khawarij bahkan mengutamakan Non Quraisy untuk memegang jabatan khalifah.Alasannya, apabila seorang khalifh melakukan penyelewengan dan melanggar syari’at akan mudah untuk dijatuhkan tanpa ada fanatisme yang akan mempertahankannya atau keturunan keluarga yang akan mewariskannya.
Ketiga, yang bersal dari aliran Najdah, pengangkantan khalifah tidak diperlukan jika masyarakat dapat menyelesaikan masalah – masalah mereka.Jadi pengangkatan seorang imam menurut mereka bukanlah suatu kewajiban berdasarkan syara’, tetapi hanya bersift kebolehan.Kalau pun pengangkatan itu menjadi wajib, maka kewajiban berdasarkan kemaslahatan dan kebutuhan.
Keempat, orang yang berdosa adalah kafir.Mereka tidak membedakan antara satu dosa dengan dosa yang lain, bahkan kesalahan dalam berpendapan merupakan dosa, jika pendapat itu bertentangan dengan kebenaran.Hal ini mereka lakukan dalam mengkafirkan Ali dan Thalhah, al – Zubair, dan para tokoh sahabt lainnya, yang jelas tentu semua itu berpendapat yang tidak sesuai dengan pendapat khawarij.
Dari keterangan diatas, menurut mereka siapa saja berhak menduuki jabatan khalifah bahkan mereka mengutamakan orang selain dari Non Arab.Dan dari pemikiran diatas, pengikut khawrij berpandangan pengangkatan khalifah dan pembentukan negara adalah masalah kemaslahatan manusia saja, mereka tidak menganggap kepala negara sebagi seorang yang sempurna, Iqbal menjelaskan bahwasanya Khawarij menggunakan mekanisme syura untuk mengontrol pelaksanaan tugas – tugas pemerintahan, hal ini menujukkan kedemokrasian klompok ini.

PEMIKIRAN POLITIK MU’TAZILAH
Kelompok ini Mu’tazilah pada awalnya merupakan gerakan atau sikap politik beberapa sahabat yang gerah terhadap kehidupan politik umat Islam pada masa pemerintahan Ali. Dengan terjadinya konflik dalam internal umat Islam mengenai pengangkatannya khalifah yang keempat.
Penanaman kelompok ini dengan Mu’tazilah baru terjadi pada saat terjadinya perbedaan – perbedaan antara Washil Ibn Atha dega gurunya Hasan al – Bashri pada abad ke II H, tentang penilaian orang yang berbuat banyak dosa dalam referensi lain disebutkan orang yang berbuat dosa besar. Namun Harun Nasution sendiri menjelskan banyak sekali asal usul nama Mu’tazilah walaupun para ahli talah mengajukan pendapat mereka namun belum ada kata sepakat antara mereka.
Kelompok Mu’tazilah selanjutnya berkembang menjadi sebuah aliran teologi rasional, akan tetapi sesuai dengan situai dan perkembangan saat itu, pemikiran – pemikiran mu’tazilah merambah kelapangan siyasah, hal ini dapat dilihat dari tokoh mereka Abd al – Jabbar yang berbicara tentang khalifah, ia berpandangan bahwa pembentukan lembaga khalifah bukanlah kewajiban berdasarkan syar’i karena nash tidak tegas mempermasalahkan untuk membentu negara dan Suyuti menambahkan dalam karangannya, melainkan atas dasar pertimbangan rasio dan tuntutan mu’amalah manusia.
Abd al – Jabar menempatkan kepala negara pada posisis yang sama dengan umat Islam lainnya, menurutnya kepala negara bukan sosok yang luar biasa sebagimana pandangan Syi’ah atau pendapat Sunni yang lebih mengutamakan suku Quraisy untuk menduduki kepala negara, menurutnya kalangan mana dan siapapun boleh menjadi kepal negara, asalkan ia mampu melaksanakannya, kepala negara ditentukan berdasarkan pemilihan umat Islam sendiri.

























C. PENUTUP
Dari pembahasan diatas sebagai pelengkap dari makalah ini ada tiga pemikiran politik kenegaraan dalam Islam.Pertama, aliran aristokrasi dan monarki yang diwakili oleh kelompok Sunni.Kedua, aliran teokrasi yang diwakili oleh Syi’ah kecuali Syi’ah Zaidiyah.Ketiga, aliran demokrasi yang dianut oleh Khawarij.
Dengan mengetahui pemikiran politik masing – masing golongan ini semoga kita paham apa arti sebuah perbedaan yang inti dari perbedaan diatas adalah betapa pentingnya sebuah negara, terlepas apakah disana terdapat perbedaan – perbedaan.























DAFTAR PUSTAKA
Iqbal, Muhammad, Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya Media Persada, 2001.
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran – Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986.
Pulungan, Suyuti, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1997.
Redaksi Ensiklopedi Islam Ringkas, Ensiklopedi Islam Ringkas, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, Januari 1999, jilid keenam.
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, Cetakan kedua.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1990.
Zahrah, Imam Muhammad, Tarikh al – Madzahib al – Islamiyyah, terjemahan Abd.Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, Jakarta: Logos, 1996, cetakan kesatu.s

Tasawuf di Era Modern

Oleh: Fadjar Adji Nuryanto
SPIRITUALITAS semakin mendapat tempat tersendiri dalam masyarakat modern. Fenomena keagamaan ini semakin menarik untuk dicermati, karena akhir-akhir ini terdapat pula kecenderungan rekonsiliasi antara nilai sufistik dan dunia modern.
Ada kecenderungan baru dimensi spiritualitas yang bersumber dari agama mulai dilirik kembali oleh masyarakat. Kemajuan yang telah mereka raih dalam bidang iptek membuktikan problema yang muncul akibat kemajuan dunia global belum terpecahkan.
Pengamat dan khususnya futurolog menganggap krisis besar yang melanda umat manusia tidak akan dapat diatasi dengan keunggulan iptek dan kebesaran ideologi yang dianut oleh negara terkemuka. Ideologi sosialisme-komunisme misalnya yang telah gagal total. Ideologi lainnya seperti kapitalisme liberalisme juga dianggap goyah dan rapuh, tinggal menunggu lonceng kematian.
Agama mulai dilirik sebagai harapan dan benteng terakhir untuk menyelamatkan manusia dari kehancuran yang mengerikan. Mungkin ini pula yang mendasari futurolog, seperti Alvin Toffler dengan bukunya The Third Wave dan John Naisbit dan istrinya Patricia Aburdene mengatakan, pada abad ke-21 akan terjadi kebangkitan agama yang disebut dengan istilah The Age of Religion.
Tren kembali kepada agama ternyata juga telah berorientasi kepada spiritualisme, bukan religius formal yang konvensional. Annemarie Schimmel dalam bukunya Mystical Dimensions of Islam mengakui masyarakat modern tampaknya enggan terkait dengan agama formal. Mereka lebih tertarik dengan meditasi, zikir, dan olah rohani yang lainnya dibanding dimensi ritual, moral, dan sosial pada agama tertentu.
Berpedoman Syara'
Tasawuf dan masyarakat modern adalah dua sifat yang berbeda atau bahkan berseberangan dengan nilai-nilai hidup masyarakat modern. Penilaian seperti ini setidaknya perlu dikaji kembali, sebagai upaya untuk menjelaskan tasawuf atau sufisme yang sebenarnya.
Ibnu Arabi menjelaskan tasawuf mengikatkan diri kepada kelakuan baik menurut syara' secara lahir dan batin, dan itu adalah akhlak mulia. Ungkapan kelakuan baik menurut syara' menunjukkan, tasawuf harus berpedoman kepada syara' atau syariat, sehingga syariat adalah pemimpin yang harus diikuti oleh siapa saja yang menginginkan keberhasilan tasawuf.
Islam adalah agama yang sangat menekankan keseimbangan antara syariat sebagai hukum Tuhan dan tarekat sebagai jalan spiritual yang sering disebut sufisme atau tasawuf. Bila syariat disebut sebagai dimensi eksoterik Islam yang lebih berurusan dengan aspek lahiriah, maka tarekat adalah dimensi esoterik Islam lebih banyak berurusan dengan aspek batiniah.
Hambatan yang bersifat eksternal berupa arus modernisasi dan kemajuan iptek sekarang ini telah berhasil merobek batas negara, menembus dinding budaya serta membentangkan jaringan hubungan antarbangsa menjadi lebih dekat.
Kemajuan iptek menanamkan pengaruhnya begitu luas dalam sistem berpikir yang berkaitan dengan masalah keagamaan, dan kita dituntut untuk dapat berpikir secara sistematis dan rasio nal. Hampir tidak ada satu budaya saat ini yang murni tanpa dipengaruhi oleh modernisasi dan kemajuan iptek.
Hambatan yang bersifat internal antara lain sikap umat Islam yang menganggap tasawuf sebagai penyebab kemunduran, tasawuf hanya layak untuk kaum tua dan yang sudah mendekati ajal. Sebagian ada yang tertarik pada tasawuf tetapi hanya pada aspek pemikirannya (tasawuf falsafi), sehingga tasawuf hanya menjadi bahan perbincangan di seminar tetapi tidak tercermin dalam kehidupan pribadi, keluarga atau masyarakat.
Sebaliknya, di kalangan tasawuf ada yang hanya mementingkan aspek amaliahnya saja (tasawuf 'amali) dan sudah tidak lagi memperhatikan aspek pemikirannya. Ada kecenderungan untuk memisahkan antara tasawuf dan fiqih. Karena itu antara kalangan tasawuf dan fiqih dapat terjadi konflik.
Tradisi tasawuf yang seharusnya bersikap antisipatif, dinamis dan kreatif lebih kehilangan sifat aslinya dan dalam menghadapi setiap persoalan lebih bersikap reaktif, bahkan ada kecenderungan memencilkan diri (isolatif).
Sikap isolatif tersebut diperparah dengan menjauhi duniawi sebagai akibat dari kekeliruan dalam memahami ajaran tasawuf, seruan agar hubuddun-ya telah disalahartikan dengan sikap menjauhi dunia.
Penyimpangan
Nilai dalam sufisme sangat beragam, mereka menyebutnya dengan istilah maqamal atau stasiun yang harus ditempuh seseorang untuk sampai kepada Tuhan. Beberapa di antaranya adalah tobat, pencarian jalan kebenaran (biasanya diikuti berbagai rintangan), rida, wara' (menghindarkan dari yang makruh apalagi haram), ikhlas dalam beribadah, kerinduan/cinta kepada Tuhan, mengenyampingkan dunia (tetapi bukan berarti tanpa harta dunia, karena agama membolehkan umat untuk memiliki harta dunia), qana'ah/kepuasan hati, mengingat Allah, kesatuan mistik/ittihad, makrifat, keesaan, ketakjuban, dan kefakiran-hapus/fana' (tidak memiliki sesuatu pun kecuali ciintanya pada Yang Satu).
Realitas dalam kehidupan masyarakat terdapat praktik penyimpangan dalam bertasawuf. Praktik-praktik tasawuf dapat diartikan menyimpang jika:1) tidak didasari oleh Alquran dan As-sunnah. 2) Amaliah tarekat tasawufnya tidak dalam bimbingan mursyid atau yang ditunjuk oleh mursyid. Kemursyidan adalah hal yang fundamental dalam praktik tasawuf mengingat banyak ulama yang gagal mengamalkan tasawuf tanpa bimbingan mursyid apalagi kalangan awam.
3) Munculnya praktik perdukunan, pengobatan, healing/terapi ala sufi, ilmu hikmah dan kanuragan lainnya yang sangat jauh dari tuntunan syariat. Walaupun ilmu tersebut merupakan produk khasanah sufi, lahir melalui tangan suci sufi tetapi generasi selanjutnya tidak mengamalkan tasawufnya namun hanya mengamalkan ilmu hikmahnya. Inilah yang disebut kacang meninggalkan kulitnya.
4). Aliran-aliran sinkretisme (gerakan kebatinan yang cenderung negatif) dari berbagai agama yang diramu sebagai sintetisme spiritual yang kemudian digemakan sebagai aliran tasawuf.
5) Praktik tasawuf yang membabi buta mempopulerkan dirinya sebagai gerakan yang paling hebat, dengan dasar guru tarekat atau mursyidnya adalah mursyid yang paling puncak dari seluruh mursyid di dunia, sehingga para murid mulai mengkultuskan mursyid setara dengan Tuhan.
6) Muncul secara individual, seorang merasa mendapat wahyu dari Allah melalui malaikat Jibril, lalu mengidentifikasikan dirinya sebagai gerakan spiritual.
Dari beberapa elemen yang menyimpang inilah yang sesungguhnya merupakan tantangan bagi gerakan tasawuf khususnya di Indonesia. Para ulama sufi, para mursyid tarekat dan para peminat dunia sufi perlu memperhatikan secara jeli agar tidak terjebak oleh ghurur (tipu daya) di balik gerakan spiritual tersebut.
Sufisme juga mementingkan keseimbangan jasmani dan rohani, lahiriah dan batiniah, material dan spiritual, duniawi dan ukhrowi. Bahkan Islam mengajak ke pemenuhan kebutuhan hidup baik material dan spiritual. Kemajuan dimensi spiritual hanya bisa dicapai melalui hidup yang saleh di tengah hiruk pikuk kehidupan sehari-hari, bukan dengan mengingkari kehidupan duniawi. Bahkan dalam Alquran terdapat sebuah doa: "Wahai Tuhan kami! Berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat nanti". (QS 2:201).
Secara historis menunjukkan pada umumnya para sufi tidak menjauhi kehidupan duniawi, mereka memberikan sumbangan yang besar bagi kehidupan sosial kemasyarakatan. Munculnya tasawuf adalah sebagai alternatif yang terpilih untuk merespon kemiskinan spiritual masyarakat modern khususnya di barat dan sesungguhnya sangat beralasan karena sufisme mengajar hal-hal yang cukup rasional.
Pemahaman ajaran agama secara rasional ditambah dengan pelaksanaannya secara formal tidak cukup menjamin kesetiaan orang pada agama yang dianutnya. Pemahaman dan formalitas agama tidak membawa orang merasakan nikmatnya beragama, bahkan mungkin hanya akan membuat seseorang merasa terbebani dengan berbagai ketentuan normatif dari ukurannya sendiri. Oleh sebab itu tasawuf menjadi pilihan, karena bentuk kebajikan spiritual dan tasawuf telah dikemas dengan filsafat, pemikiran, ilmu pengetahuan dan disiplin kerohanian tertentu berdasarkan ajaran Islam.
Bukan Tujuan
Tasawuf bukan merupakan tujuan, ia merupakan jalan untuk mendekatkan diri menuju Tuhan. Ia merupakan jalan yang penuh berliku yang sarat dengan tipu daya dan menyesatkan.
Ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu mengenai kehidupan bertasawuf dan tasawuf sebagai gerakan/pelembagaan. Kalau dari segi kehidupan dapat kita kembalikan pada kehidupan Nabi, dalam Alquran banyak sekali ayat yang mengisyaratkan akan kehidupan bertasawuf.
Ajaran sufi adalah ajaran moral dan aspek moral inilah yang paling ditekankan dan pendekatannya adalah dengan ibadah-ibadah. Moralitas yang tinggi bagi Nabi dimulai dari kesempurnaan pengamalan syariat yang beliau bawa.
Pada praktik di masyarakat kadang orang mengalihkan dari persoalan moral kepada hal yang aneh-aneh, orang merasa sudah dekat dengan Allah sehingga melahirkan ini dan itu yang aneh.
Tujuan tasawuf bukan kepada hal yang aneh-aneh. Ciri seorang sufi dapat dilihat dari kehidupan sehari-hari dalam kehidupan moral bermasyarakat, sebab seseorang yang semakin dekat dengan Allah maka akan semakin baik pula pada masyarakat.
Para sufi tidak pernah mengklaim dirinya adalah seorang sufi. Bahkan mereka akan menyembunyikan atribut kesufiannya. Kadang salat sunahnya jarang dilakukan di depan orang, saat menjadi imam menggunakan ayat yang pendek-pendek sehingga mereka tidak bersedia untuk show kesucian di depan orang. Pamer merupakan penyakit hati yang harus dijauhi.
Sufi yang benar adalah menjadi muslim yang benar dan muslim yang benar adalah bagaimana menjalankan syariat Islam secara benar, sehingga secara umum tanpa syariat yang benar/amburadul, tidak mungkin akan melangkah ke tiga tahapan selanjutnya (tarekat, hakikat dan marifat).
Masing-masing empat tahapan tersebut membutuhkan waktu yang tidak dapat ditentukan dan tidak dapat diprogramkan secara matematis periodik apalagi hanya dengan perasaan/naluri bahwa kita sekarang adalah sedang berada pada tahap yang ini atau yang itu.(18)
- Fadjar Adji Nuryanto SP, alumnus Fakultas Pertanian Unsoed Purwokerto, pemerhati Masalah Politik dan Kajian Islam.